Deretan Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP, Berpotensi Multitafsir

Ira Guslina Sufa
5 Desember 2022, 10:20
RUU KUHP
ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/YU
Dua aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Jeritan Rakyat (Ajra) berunjuk rasa mengecam ketertutupan pemerintah dan DPR saat melakukan pembahasan draft rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Alun-alun Serang, Banten, Rabu (6/7/2022).

Dewan Perwakilan Rakyat akan membawa Rancangan Undang Undang KUHP pada sidang paripurna Selasa (6/12) besok untuk disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan setelah DPR dan pemerintah mengetuk palu persetujuan atas RUU KUHP pada rapat kerja di Komisi Hukum akhir November lalu. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan masih terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversial masuk dalam RUU tersebut. Isnur berpendapat rencana pengesahan RUU KUHP itu tergesa-gesa dan dipaksakan.  

“Kami kecewa dengan wakil rakyat dan pemerintah yang kembali tergesa-gesa. Ini mengulang tragedi 2019,” ujar Isnur kepada Katadata.co.id.

Menurut Isnur masih ada beberapa pasal yang harus dibahas lagi oleh DPR bersama pemerintah untuk menghindari adanya multitafsir di kemudian hari. Hal ini justru berpotensi membuat terjadinya kriminalisasi kepada masyarakat. Apalagi bila hukum diinterpretasikan oleh kepentingan pejabat atau penguasa yang sedang memegang kursi kepemimpinan. 

Berikut Ulasan 10 Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP

1. Pasal tentang Hukuman Mati 

Sejumlah pasal dalam RUU KUHP menempatkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pidana yang akan diterima pelanggar kejahatan. Sebagai contoh pada pasal 13 ayat 4 disebutkan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan tidak pidana dapat dikenai hukuman mati. 

Menurut Isnur legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang melekat sebagai sebuah karunia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Ia menilai hukum pidana mati harus ditiadakan karena beberapa kasus telah terjadi bahwa pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi.

2. Pasal tentang Komunisme, Leninisme dan Marxisme

Pasal 188 (1) 

Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun

Isnur menilai larangan penyebaran marxisme, leninisme dan komunisme absurd lantaran tak memiliki indikator yang jelas. Apalagi menurut Isnur ketiga paham tersebut sudah biasa diajarkan di universitas dan perguruan tinggi. 

Isnur mengatakan masuknya pembahasan mengenai marxisme, leninisme dan komunisme dalam RUU KUHP menunjukkan sempitnya pemahaman kebangsaan. Menurut Isnur tidak ada indikator yang jelas untuk menyatakan suatu paham bertentangan atau tidak dengan pancasila. 

“Ini menganut penyakit akut yang sudah ada sejak orde baru. Dan pancasila kalau dibaca bersama adalah nilai yang terbuka. Yang bisa menampung aspirasi dari berbagai ideologi,” kata Isnur. 

 3. Pasal tentang Penghinaan Presiden 

Pasal 218 

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. 

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. 

Pasal 219 

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Masuknya pasal mengenai penghinaan presiden dalam RUU KUHP menurut Isnur cukup kontroversial. Apalagi pasal ini dulunya pernah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Keputusan ini membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab 

Saat itu MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. 

“Oleh MK di masa reformasi dihapus, sekarang itu dihidupkan kembali ini kontraproduktif,” kata Isnur. 

Ia menilai pasal penghinaan presiden ini berpotensi menyeret masyarakat yang tidak terlalu melek hukum untuk dipidanakan. Apalagi masyarakat awam biasanya tidak terlalu bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Seringkali kritik disampaikan dengan marah sehingga berpotensi disebut sebagai penghinaan.

“Penilaian menghinan ini subjektif sehingga berpotensi multitafsir.”

 4. Pasal Penghinaan Lembaga Negara

Pasal 240 

Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. 

Pasal 241 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...