Deretan Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP, Berpotensi Multitafsir
Dewan Perwakilan Rakyat akan membawa Rancangan Undang Undang KUHP pada sidang paripurna Selasa (6/12) besok untuk disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan setelah DPR dan pemerintah mengetuk palu persetujuan atas RUU KUHP pada rapat kerja di Komisi Hukum akhir November lalu.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan masih terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversial masuk dalam RUU tersebut. Isnur berpendapat rencana pengesahan RUU KUHP itu tergesa-gesa dan dipaksakan.
“Kami kecewa dengan wakil rakyat dan pemerintah yang kembali tergesa-gesa. Ini mengulang tragedi 2019,” ujar Isnur kepada Katadata.co.id.
Menurut Isnur masih ada beberapa pasal yang harus dibahas lagi oleh DPR bersama pemerintah untuk menghindari adanya multitafsir di kemudian hari. Hal ini justru berpotensi membuat terjadinya kriminalisasi kepada masyarakat. Apalagi bila hukum diinterpretasikan oleh kepentingan pejabat atau penguasa yang sedang memegang kursi kepemimpinan.
Berikut Ulasan 10 Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP
1. Pasal tentang Hukuman Mati
Sejumlah pasal dalam RUU KUHP menempatkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pidana yang akan diterima pelanggar kejahatan. Sebagai contoh pada pasal 13 ayat 4 disebutkan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan tidak pidana dapat dikenai hukuman mati.
Menurut Isnur legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang melekat sebagai sebuah karunia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Ia menilai hukum pidana mati harus ditiadakan karena beberapa kasus telah terjadi bahwa pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi.
2. Pasal tentang Komunisme, Leninisme dan Marxisme
Pasal 188 (1)
Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
Isnur menilai larangan penyebaran marxisme, leninisme dan komunisme absurd lantaran tak memiliki indikator yang jelas. Apalagi menurut Isnur ketiga paham tersebut sudah biasa diajarkan di universitas dan perguruan tinggi.
Isnur mengatakan masuknya pembahasan mengenai marxisme, leninisme dan komunisme dalam RUU KUHP menunjukkan sempitnya pemahaman kebangsaan. Menurut Isnur tidak ada indikator yang jelas untuk menyatakan suatu paham bertentangan atau tidak dengan pancasila.
“Ini menganut penyakit akut yang sudah ada sejak orde baru. Dan pancasila kalau dibaca bersama adalah nilai yang terbuka. Yang bisa menampung aspirasi dari berbagai ideologi,” kata Isnur.
3. Pasal tentang Penghinaan Presiden
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Masuknya pasal mengenai penghinaan presiden dalam RUU KUHP menurut Isnur cukup kontroversial. Apalagi pasal ini dulunya pernah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Keputusan ini membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab
Saat itu MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.
“Oleh MK di masa reformasi dihapus, sekarang itu dihidupkan kembali ini kontraproduktif,” kata Isnur.
Ia menilai pasal penghinaan presiden ini berpotensi menyeret masyarakat yang tidak terlalu melek hukum untuk dipidanakan. Apalagi masyarakat awam biasanya tidak terlalu bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Seringkali kritik disampaikan dengan marah sehingga berpotensi disebut sebagai penghinaan.
“Penilaian menghinan ini subjektif sehingga berpotensi multitafsir.”
4. Pasal Penghinaan Lembaga Negara
Pasal 240
Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 241
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sama halnya dengan penghinaan terhadap presiden, Isnur menilai pasal penghinaan lembaga negara dan pemerintah menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial. Pasal ini juga berpotensi multitafsir dan mengakomodir kepentingan penguasa.
5. Pasal tentang Pendapat di Muka Umum
Pasal 256
Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Menurut Isnur, salah satu pasal yang berpotensi merugikan masyarakat adalah pasal 256 tentang kewajiban publik untuk memberi informasi terlebih dahulu bila ingin melakukan unjuk rasa. Merujuk dokumen draft RUU KUHP terbaru, pasal 256 menyatakan bahwa orang yang menyampaikan pendapat di muka tanpa izin dapat dihukum penjara.
Isnur mengatakan keberadaan pasal 256 menunjukkan adanya kemunduran dalam berdemokrasi. Selain itu pasal ini juga menempatkan kebebasan berpendapat pada posisi beresiko dianggap sebagai kejahatan dan tindakan pidana.
“Setelah reformasi kemudian kita mengetahui bahwa berpendapat di muka umum merupakan hak yang dijamin undang-undang. Bagaimana mungkin bila kemudian berpendapat di muka umum hanya dibolehkan setelah pemberitahuan dan bila dilakukan tanpa pemberitahuan disebut sebagai sebuah kejahatan,” ujar Isnur.
6. Pasal tentang Penghinaan Proses Peradilan
Pasal 278
Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:
- tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
- bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau
- tanpa izin pengadilan mempublikasikan proses persidangan secara langsung.
Pasal tentang penghinaan proses peradilan atau contempt of court pada pasal 278 dinilai berpotensi menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa. Dalam persidangan, seringkali masyarakat menemui adanya hakim yang memihak.
Pasal ini berpotensi kontroversial karena tidak ada indikator yang baku mengenai apa saja yang masuk dalam kategori bersikap tidak hormat. Apabila pasal ini disahkan, ketika bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan dapat dianggap sebagai penyerangan integritas. Pasal ini juga berbahaya bagi lawyer, saksi, dan korban.
7. Pasal tentang Hidup Bersama
Pasal 412
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
- suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
- Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Dalam pandangan YLBHI pemerintah dan DPR kebablasan karena mengatur hal yang menjadi norma susila dan normal dalam kacamata hukum pidana. Apalagi menurut dia, pembatasan hidup bersama untuk pasangan bukan suami istri hanya mengacu pada agama tertentu. Padahal di Indonesia ada agama dan keyakinan yang tak mempersoalkan hidup bersama ini.
“Tidak semua wilayah indonesia menganggap itu dilarang. Itu norma moral setempat. Tiba-tiba ada impor nilai agama pada hukum nasional dan itu menyakiti wilayah lain itu semacam pemaksaan,” ujar Isnur.
8. Pasal tentang Tindak Pidana Agama
Pasal 300
Setiap Orang di Muka Umum yang:
- melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
- menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
- menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal terkait tindak pidana agama ini dinilai mengekang kebebasan beragama dan kepercayaan seseorang. Persoalan agama atau hubungan antar manusia merupakan urusan personal. Apabila RUU KUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik.
9. Pasal tentang Perampasan Aset
Pasal terkait Perampasan aset untuk denda individu dengan adanya hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa. Metode hukuman kumulatif ini merupakan metode yang sangat kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untuk memeras atau mencari untung dari rakyat.
10. Pasal terkait Kesusilaan
Isnur menilai ada beberapa pasal yang memungkinkan terjadinya kontroversi yaitu menyangkut kesusilaan dan kampanye kontrasepsi.
Pasal terkait edukasi kontrasepsi dinilai berpotensi mengkriminalisasi pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi. Aturan ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orangtua atau pengajar yang mengajarkan anaknya kesehatan reproduksi.
Sedangkan pasal terkait kesusilaan dinilai berbahaya apabila disahkan karena penyintas kekerasan seksual bisa mendapatkan kriminalisasi.