Moderna Tak Penuhi Kriteria Sebagai Vaksin Booster, Dua Dosis Cukup
Para ilmuwan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa vaksin Moderna tidak memenuhi kriteria badan tersebut untuk dijadikan sebagai suntikan penguat atau booster.
Hal itu dikarenakan dua dosis pertama vaksin Moderna dinilai sudah cukup kuat untuk melawan Covid-19.
Dilansir dari Reuters, salah satu pegawai FDA mengatakan, bahwa data untuk vaksin Moderna menunjukkan suntikan booster memang meningkatkan antibodi pelindung.
Namun perbedaan tingkat antibodi sebelum dan sesudah suntikan booster tidak cukup tinggi, terutama pada mereka yang kadar antibodinya sangat tinggi.
FDA biasanya mengikuti saran para ahli di badan tersebut, namun tidak diharuskan untuk melakukan saran-saran para ahlinya.
Panel penasihat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS akan mengadakan pertemuan minggu depan untuk membahas rekomendasi spesifik tentang siapa yang diizinkan untuk mendapat suntikan booster.
"Ada peningkatan (antibodi), tentu saja. Apakah itu cukup untuk meningkatkan? Tidak ada jumlah standar peningkatan yang dibutuhkan, dan juga tidak jelas berapa banyak peningkatan yang terjadi dalam penelitian ini," kata Profesor mikrobiologi dan imunologi di Weill Cornell Medical College di New York, John Moore dikutip dari Reuters, Rabu (13/10).
Moderna sedang mengejar izin untuk penggunaan dosis booster 50 mikrogram.
Jumlah tersebut merupakan setengah dari kekuatan vaksin asli yang diberikan dalam dua suntikan dengan jarak sekitar empat minggu.
Perusahaan tersebut telah meminta regulator untuk menghapus suntikan dosis ketiga untuk orang dewasa berusia 65 tahun ke atas, serta untuk individu dengan risiko tinggi.
Persetujuan untuk booster sudah diperoleh saingannya Pfizer Inc (PFE.N) dan mitra Jerman BioNTech untuk vaksin mRNA mereka.
Sebelumnya, pemerintahan Presiden Joe Biden mengumumkan untuk memberikan dosis booster kepada sebagian besar orang berusia lanjut.
Namun, beberapa ilmuwan FDA, dalam sebuah artikel di jurnal The Lancet, mengatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk mendukung booster di semua kalangan usia.
Data tentang kebutuhan suntikan booster sebagian besar berasal dari Israel.
Negara tersebut memberikan suntikan tambahan vaksin Pfizer/BioNTech ke sebagian besar populasinya, dan telah memberikan rincian tentang efektivitas upaya itu kepada penasihat AS.
“Bukti dosis penguat Moderna tampaknya memiliki banyak kekurangan," kata Eric Topol, profesor kedokteran molekuler dan direktur Institut Terjemahan Penelitian Scripps di La Jolla, California.
Ia menyebut bahwa data yang diberikan terbatas dan tidak memberikan wawasan tentang bagaimana sebenarnya kinerja suntikan vaksin penguat pada penerima.
Sementara itu, penasihat FDA juga akan mempertimbangkan dosis booster untuk vaksin dosis tunggal Johson&Johnson (J&J) pada hari Jumat (15/10) mendatang.
FDA belum merilis dokumen pengarahannya mengenai izin suntikan penguat vaksin tersebut.
Di samping itu, J&J telah meminta FDA untuk mengizinkan suntikan booster setidaknya dua bulan setelah suntikan awal.
Perusahaan tersebut mengatakan bahwa, data menunjukkan orang dewasa yang berisiko tinggi harus menerima suntikan booster lebih awal.
Namun, idividu yang berisiko lebih rendah dapat mengambil manfaat dari menunggu setidaknya enam bulan untuk suntikan kedua mereka.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan