Tertekan di 2021, Industri Tekstil Mulai Menggeliat Menjelang Ramadhan
Industri tekstil di dalam negeri masih tertekan sepanjang tahun lalu akibat pandemi Covid-19. Namun, mendekati penghujung 2021 dan memasuki 2022, industri tekstil optimistis menuju perbaikan, terutama karena faktor Ramadhan.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendata rata-rata utilisasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sepanjang 2021 adalah 60%.
Namun demikian, pada akhir 2021 telah menyentuh level 75% untuk industri hulu dan antara, sedangkan utilisasi industri garmen di posisi 85%.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh mengatakan rata-rata (utilisasi 2021) industri mencapai 60% karena pada awal kuartal III-2021 diberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 dan Level 4 di Pulau Jawa dan Bali.
"Hanya (industri TPT) berorientasi ekspor yang bisa produksi, itu pun hanya 50% (dari total kapasitas terpasang), untuk orientasi domestik sama sekali tidak bisa berproduksi," kata Elis Masitoh kepada Katadata, Jumat (14/1).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat realisasi pertumbuhan produksi industri tekstil masih bergerak di zona merah pada kuartal II dan kuartal III-2021.
Namun demikian, perbaikan permintaan pada kuartal IV-2021 membuat produksi tekstil sepanjang 2021 lebih baik dibandingkan capaian 2020.
Pada kuartal IV-2021, utilisasi industri serat dicatat telah mencapai kisaran 87,5%. Rinciannya adalah utilisasi untuk industri polyester mencapai 85%, sedangkan industri rayon di kisaran 90%.
Redma menilai perbaikan permintaan pada kuartal IV-2021 akan berlanjut pada tahun ini.
Menurutnya, pada semester pertama tiap tahun pada kondisi normal, permintaan bisa naik hingga 40%.
Namun, dengan kondisi saat ini permintaan tekstil pada semester I-2022 hanya dapat naik sebesar 15%.
Peningkatan permintaan pada semester I-2022 dapat meningkatkan utilisasi industri serat ke kisaran 92,5%.
Rinciannya adalah utilisasi untuk industri polyester di 90% dan rayon di 95%.
Redma menilai peningkatan permintaan itu disebabkan oleh beberapa hal, seperti minimnya tekstil impor karena tingginya biaya pengapalan dan minimnya pasokan tekstil dari Cina karena krisis energi.
Penyebab lainnya adalah tingginya harga kapas dan membaiknya permintaan menghadapi Ramadhan 2022.
Redma mengatakan harga kapas pada posisi normal adalah sekitar US$ 0,55 - US$ 0,6 per kilogram (Kg).
Namun demikian, minimnya ketersediaan dan tingginya harga kargo membuat harga kapas naik menjadi US$ 1,2 per Kg.
Tingginya harga memaksa industri hilir TPT mengganti kapas dengan rayon, polyester, atau campuran keduanya yang diproduksi di dalam negeri.
Alhasil, komposisi konsumsi serat domestik kini berubah menjadi polyester 40%, rayon 30%, dan kapas 30% dari komposisi sebelumnya polyester 30%, rayon 15%, dan kapas 50%-60%.
Di samping itu, Redma mengamati permintaan tekstil untuk kebutuhan Ramadhan telah membaik dari realisasi 2021.
Seperti diketahui, permintaan tekstil untuk pasar Ramadhan biasanya melonjak sekitar dua kali lipat dibandingkan bulan biasa.
Redma mencatat saat ini seluruh industri kecil dan menengah (IKM) garmen telah memiliki pesanan hingga April 2022.
Hal ini ditransmisikan pada permintaan bahan baku ke industri antara dan hulu TPT.
Redma menyampaikan setidaknya sembilan pabrikan akan melakukan investasi pada awal 2022.
Namun demikian, Redma menilai investasi itu bukan disebabkan oleh peningkatan permintaan sepanjang 2022.
"Safeguard dari pemerintah (untuk produk) benang, kain dan garmen, terus Peraturan Menteri Perdagangan No. 12-2020, Itu yang bikin (pelaku industri) confident untuk investasi," kata Redma.
Menurutnya, krisis energi dan tingginya biaya pengapalan dapat dengan mudah diatasi oleh pelaku industri asal Negari Panda. Kondisi tersebut bisa menurunkan permintaan tekstil dari Indonesia.
"Yang paling penting keberpihakan pemerintah," ucap Redma.
Sebelumnya, sembilan industri TPT telah melakukan investasi senilai Rp 10,5 triliun pada akhir 2021.
Secara rinci, nilai investasi senilai Rp 2 triliun di Pulau Jawa dan Rp 8,5 triliun di Provinsi Riau.
Kesembilan perusahaan TPT yang berinvestasi tersebut, yakni PT. Dhanar Mas Concern, PT. Embee Plumbon Textiles, PT. Kewalram Indonesia, PT. Pan Brothers Tbk, PT. Anggana Kurnia Putra, PT. Sipatex Putri Lestari, PT. Bandung Djaja Textile, PT. Sinar Para Taruna Textile dan PT. Asia Pacific Rayon.
“Hal ini membuktikan bahwa industri TPT bukan sunset industry, bahkan menjadi sunrise industry," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Realisasi investasi tersebut di antaranya meliputi industri pembuatan serat, pembuatan benang, pembuatan kain sampai dengan industri pakaian jadi. Agus mengatakan pengembangan industri dari investasi baru ini akan mempermudah industri TPT mendapatkan bahan baku.
Agus meyakini industri TPT di Indonesia akan terus tumbuh di masa mendatang.
Selain itu Kemenperin berupaya mendukung peningkatan iklim investasi dengan insentif fiskal maupun non fiskal untuk meminimalisir dampak pandemi Covid-19 serta meningkatkan kinerja industri TPT.
Kontribusi industri TPT terhadap PDB sektor manufaktur sebesar 6,08% pada kuartal III tahun 2021. Pertumbuhan ini mengalami perbaikan menjadi sebesar 4,27% apabila dibandingkan kuartal II 2021 sebesar 0,48%.
Adapun ekspor TPT pada periode Januari-Oktober 2021 turut mengalami peningkatan sebesar 19% menjadi US$ 10,52 miliar (Rp 150 triliun). Selain itu, nilai investasi juga mengalami kenaikan sebesar 12% sehingga menjadi Rp 5,06 triliun.