Ekonomi Masih Susah, Aturan Baru PPh dan PPN Bebani Pengusaha-Konsumen
Keputusan pemerintah untuk membatalkan pemotongan pajak penghasilan (PPh) serta menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk tahun depan diyakini akan semakin membebani pengusaha serta konsumen.
Pasalnya, pemberlakuan pajak tersebut dilakukan di saat ekonomi Indonesia masih tertatih-tatih bangkit dari pandemi Covid-19.
Seperti diketahui, hari ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mensyahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Dalam UU tersebut disebutkan tarif PPh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) adalah sebesar 22% berlaku pada tahun pajak 2022 dan seterusnya. Besaran tarif tersebut tidak mengalami perubahan dari tarif PPh untuk tahun pajak 2021 yakni 22%.
Namun, aturan baru dalam UU HPP tersebut membatalkan rencana pemerintah untuk PPh badan. Sebelumnya, pemerintah berjanji akan menurunkan tarif PPh badan dari 22% tahun ini menjadi 20% tahun 2022.
Sementara itu, melalui UU HPP, pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% tahun ini menjadi 11% pada tahun depan dan 12% pada 2025.
Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Kamar dagang dan industri Indonesia (Kadin) Sarman Simanjorang mengatakan seharusnya pemerintah menunggu momentum yang pas untuk menaikkan PPN. Di sisi lain, pemerintah seharusnya menurunkan PPh badan.
"Harusnya kan melihat situasi. Dunia usaha dan masyarakat ini kan 1,5 tahun terakhir ekonominya sangat sangat berat. Tolonglah diperhatikan lagi kondisi ekonominya seperti apa," tutur Sarman, kepada Katadata, Kamis (7/10).
Pemberlakuan PPh 22% dan kenaikan PPN akan didukung dunia usaha jika dilakukan kondisi ekonomi dalam kondisi normal.
Namun, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada Maret tahun lalu, baik dunia usaha dan masyarakat menghadapi pukulan bertubi tubi. Selain pelemahan ekonomi, mereka juga harus menghadapi kebijakan pembatasan mobilitas serta berkurangnya pendapatan.
"Kenaikan PPh dan PPN ini ujung-ujungnya menjadi beban konsumen. Untuk PPh badan, harapan kami itu minimal tetap, jangan naik. Kami tentu saja maunya turun"ujarnya.
Konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 60% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Kenaikan PPN bisa menurunkan konsumsi rumah tangga mengingat beban PPN akan langsung diteruskan ke konsumen sebagai pengguna barang.
"Ini nanti larinya ke konsumsi masyarakat. Ekonomi kita ini baru akan bangkit, belum pulih. Apa tidak sebaiknya, menunggu kondisi nya seperti apa dulu di 2022?Kita inginnya kan daya beli bisa digenjot. tapi kalau PPN naik maka berat,"tuturnya.
Ekonomi Indonesia tumbuh 7,07% (year on year) pada kuartal II tahun 2021 menyusul mulai membaiknya konsumsi rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,93% (year on year) di kuartal II tahun ini. Sarman mengingatkan pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2021 adalah pertumbuhan semu mengingat basis perhitungan tahunannya yang rendah. Pada kuartal II/2020, ekonomi Indonesia terkontraksi 5,32%.
"Pertumbuhan ekonomi itu kan seharusnya bisa menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan di kuartal II lalu tidak berkualitas. Kalau ekonomi kita sudah berkualitas, bolehlah itu PPh dan PPN naik,"ujarnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly dalam pernyataannya dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (7/10), mengatakan penetapan tarif PPh sebesar 22% sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan tarif PPh.
Dia menambahkan alasan pemerintah batal menurunkan tarif PPh adalah karena tarif saat ini cenderung lebih rendah dari beberapa negara lain.
Rata-rata tarif PPh badan di negara Asia sebesar 22,17%, negara-negara OECD sebesar 22,8% , di benua Amerika rata-rata 27,16% dan di negara anggota G20 sebesar 24,17%.
Melalui UU HPP, Pemerintah juga batal memberlakukan skema multitarif yang semula akan diatur dalam Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Namun, pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 11% pada tahun depan dan 12% pada 2025.
"Pemerintah memahami aspirasi masyarakat melalui fraksi-fraksi di DPR bahwa penerapan multitarif PPN akan menyebabkan cost of complience dan menimbulkan postensi dispute, maka disepakati sistem PPN tetap menerapkan tarif tunggal," ujar Yasonna Laoly.