Fed Beri Sinyal Percepatan Tapering, Rupiah Melemah Rp 14.283 Per US$
Nilati tukar rupiah dibuka melemah 0,1% ke level Rp 14.277 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Pelemahan nilai tukar terimbas rilis notulensi rapat The Fed yang menunjukkan adanya peluang percepatan tapering off.
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke posisi Rp 14.283 pada pukul 09.30 WIB. Ini semakin jauh dari penutupan kemarin Rp 14.265 per dolar AS.
Mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi. Pelemahan terutama dialami dolar Taiwan 0,05%, dolar Singapura 0,01%, won Korea Selatan 0,31%, peso Filipina 0,36%, dan ringgit Malaysia 0,21%.
Sementara itu, yen Cina menguat 0,06%, bersama bath Thailand 0,42%, rupee India 0,04%, dolar Hong Kong 0,02% dan yen Jepang 0,03%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan melemah ke arah Rp 14.300, dengan potensi penguatan di kisaran Rp 14.220 per dolar AS.
Koreksi pada nilai tukar terimbas rilis ringkasan rapat The Fed yang menunjukkan adanya peluang percepatan tapering off jika inflasi terus memanas.
"Potensi jumlah obligasi yang dibeli tiap bulannya bisa berkurang lebih banyak dari rencana sebelumnya," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Kamis (25/11).
Mengutip CNBC Internasional, berdasarkan risalah rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) awal bulan ini, pejabat The Fed membuka peluang mempercepat penarikan berbagai stimulusnya jika inflasi terus memanas.
Kendati demikan, isu kenaikan harga-harga masih jadi perdebatan utama di kalangan anggota komite.
Sebagian dari anggota komite memberikan catatan bahwa The Fed harus siap menyesuaikan kecepatan pembelian asetnya jika inflasi berjalan lebih tinggi dari target bank sentral.
The Fed berencana mengurangi pembelian aset sebesar US$ 15 miliar dari pembelian rutinnya US$ 120 miliar.
Tetapi beberapa pejabat The Fed menyarankan jumlah pengurangan pembelian tersebut ditingkatkan sehingga bisa selesai lebih cepat.
Beberapa menyarankan pembelian diakhiri April tahun depan, dari rencana awal The Fed akan berakhir pada pertengahan 2022.
"(The Fed) tidak akan ragu untuk mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi tekanan inflasi yang menimbulkan risiko terhadap stabilitas harga jangka panjang dan tujuan pekerjaan," tulis risalah rapat tersebut yang dirilis Rabu, (24/11).
Selain itu, Ariston mengatakan sentimen tapering off semakin diperkuat oleh rilis data ekonomi AS.
Laporan tenaga kerja menunjukkan adanya perbaikan, sementara beberapa data inflasi juga dirilis masih melanjutkan kenaikan.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan, pengajuan baru untuk klaim jaminan pengangguran turun ke level terendahnya sepanjang 52 tahun terakhir.
Jumlah klaim pengangguran hanya sebanyak 199 ribu klaim pada pekan ketiga November ini.
Kinerja ini juga jauh di bawah perkiraan Dow Jones 260 ribu klaim dan turun dari pekan sebelumnya sebanyak 270 ribu klaim baru.
Selain itu indeks pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) yang menggambarkan harga-harga yang dikeluarkan oleh konsumen di AS juga naik menjadi 5% secara tahunan.
Ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak November 1990. Secara bulanan juga naik 1,3%, lebih tinggi dari perkiraan Dow Jones 1%.
Inflasi terus tercermin paling dalam melonjaknya biaya energi, yang naik 30,2% dari tahun lalu.
Harga pangan meningkat 4,8% selama rentang tersebut. Inflasi jasa naik 6,3%, sama seperti di bulan September, sementara inflasi barang melonjak 7,3%, naik dari kecepatan 6,4% di bulan sebelumnya.
"Data-data ini mendukung percepatan pengetatan moneter di AS yang bisa mendorong penguatan dollar AS," kata Ariston.
Sentimen negatif juga datang dari dalam negeri usai pidato Gubernur Bank Indonesia dalam Pertemuan Tahunan BI (PTBI) kemarin.
Perry mengungkap bank sentral masih akan mempertahankan bunga acuan rendah hingga muncul tanda-tanda kenaikan inflasi.
Seperti diketahui, BI selama ini menahan suku bunga rendah sebagai salah satu langkah untuk menolong perekonomian.
"Kalau pasar membandingkan dengan kebijakan moneter AS, terjadi perbedaan kebijakan, jadi bisa menekan rupiah," kata Ariston.
Selain itu, sentimen koreksi pada rupiah juga datang dari pernyataan Perry yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 3,2%-4%.
Ini lebih rendah dari proyeksi BI dalam rapat dewan gubernur bulanan edisi Oktober yang memperkirakan perekonomi tahun 2021 bisa tumbuh di 3,5%-4,3%.