Langkah OJK Memagari Sisi Negatif Fintech Pembiayaan

Desy Setyowati
9 September 2018, 07:10
Fintech
Katadata/Arief Kamaludin
Suasana pameran Indonesia Fintech Festival and Conference 2016, Tangerang, Banten, Selasa, (30/08).

Perusahaan strat-up di bidang teknologi keuangan atau financial technology (fintech) berkembang begitu pesat dalam tiga tahun terakhir, termasuk yang bergerak di lini pembiayaan (peer to peer lending). Walau menjadi jalan pemerintah untuk memperluas akses keuangan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyadari ada celah negatif di industri ini yang bisa berdampak sistemik.

Setidaknya ada dua hal yang benar-benar disorot lembaga pengawas keuangan tersebut, yakni shadow banking dan skema ponzi. Shadow banking adalah kegiatan penghimpunan dana, investasi, dan pinjaman yang tidak terawasi otoritas. Caranya bermacam-macam, misalnya fintech lending meminjam uang dari bank lalu menyalurkannya kepada peminjam dengan bunga begitu tinggi.

Sementara skema ponzi merupakan modus investasi palsu yang membayarkan keuntungan kepada investor dari uang investor berikutnya. Kedua kegiatan ilegal ini pun sudah dijegal OJK lewat Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi dan POJK Nomor 3 Tahun 2018 terkait inovasi keuangan digital.

(Baca: Minimalkan Penipuan, Aturan Fintech Diminta Segera Terbit).

 Namun, Bank Indonesia melihat masih ada risiko shadow banking di fintech lending yang berasal dari luar negeri. “Regulasi dan supervisi fintech, termasuk dimensi lintas batas antaryurisdiksi diperlukan agar tidak menciptakan shadow banking, yang merupakan sumber risiko baru,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo beberapa waktu lalu.

Perlunya mencermati hal tersebut lantaran proses pinjam-meminjamnya secara elektronik. Investor asing bisa berinvestasi di perusahaan Indonesia, begitu sebaliknya. Fintech lending asing juga dapat beroperasi di Tanah Air. Apalagi, Indonesia terkenal dengan pasar ritel, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang jarang tersentuh oleh lembaga keuangan konvensional seperti perbankan.

Untuk mengantisipasi sisi negatif ketiga ini, Deputi Komisioner Institute OJK Sukarela Batunanggar menyatakan instansinya tengah mengkaji regulasinya. “Ada kerja sama pengaturan dan pengawasan antarregulator di regional dan global,” kata Sukarela kepada Katadata.co.id. “Ini masih wacana. Tapi sudah ada MoU dengan Australia, Malaysia, dan Singapura.”

Pada akhir tahun lalu, Asosiasi Fintech (Aftech) Indonesia dan Australia memang menandatangani perjanjian kerja sama terkait sumber daya manusia (SDM). Nota kesepahaman itu mencakup teknologi, modal, hingga data dan informasi khususnya di bidang manajemen risiko dan keamanan siber untuk mendukung kedua ekosistem.

Problemnya, menurut Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi, membuat regulasi lintas batas (cross border) tidaklah mudah. Sebab, kebijakan di setiap negara kerap berbeda. Alhasil, tidak gampang menerapkan aturan lintas batas ini.

Meski begitu, OJK tetap mengantisipasi risiko yang datang dari luar negeri. Sejak Desember 2016 hingga saat ini, lembaga itu menemukan ada 447 fintech lending ilegal. Mayoritas berasal dari Tiongkok. “Kami cari akar yang mempermudah mereka (masuk). Ini kan ujung-ujungnya transfer uang. Nah, bank atau fintech pembayaran akan kami panggil,” ujar Hendrikus.

Cina memang sempat menjadi surga bagi fintech lending ilegal. Kajian lembaga non-profit asal Amerika Serikat (AS) Brooking Institution menunjukan bolong regulasi di sana menyebabkan industri fintech pembiayaan penuh dengan penipuan dan model keuangan berisiko tinggi. Padahal, pertumbuhannya sangat cepat, dari 200 fintech lending di 2012 menjadi 3.488 pada 2015.

Kasus yang paling terkenal adalah Ezubao, platform lending yang memikat investor dengan janji imbal hasil di atas 14,6 % per tahun. Ezubao pun berhasil mengumpulkan US$ 7,6 miliar dari hampir satu juta pengguna dalam kurun 1,5 tahun. Setelah dilakukan penelusuran, Ezubao teridentifikasi melakukan skema ponzi dengan lebih dari 95 % peminjamnya fiktif.

Setelah kejatuhan Ezubao, pemerintah Tiongkok menggencarkan penyelidikan. Hasilnya, lebih dari 900 fintech lending ditutup karena menerapkan skema ponzi pada 2016. (Baca: Tumbang di Negerinya, Fintech Tiongkok Siap Serbu Indonesia?)

Tak hanya itu, Bloomberg melaporkan, fintech P2P lending di Tiongkok juga melakukan shadow banking. Fintech meminjam uang dari perbankan lalu menyalurkannya ke individu atau UMKM dengan bunga jauh lebih tinggi. Kontribusi industri ini pun melambung hingga 14 % dari total US$ 10 triliun yang ditransaksikan dengan skema shadow banking di Tiongkok pada 2017.

Berkaca dari hal tersebut, otoritas di Indonesia begitu menjaga sedini mungkin agar insiden tersebut tak menyapu Tanah Air. Misalnya dengan POJK 77 Tahun 2016 tadi. Melalui aturan ini, OJK mewajibkan fintech lending mendaftarkan diri supaya bisa diawasi. Mereka juga wajib memiliki rekening penampung atau escrow account untuk menghimpun dana investor di perbankan. Dengan begitu, perusahaan tidak bisa membawa kabur uang tersebut.

Selanjutnya, OJK merilis POJK Nomor 3 Tahun 2018 pada Agustus lalu. OJK mewajibkan fintech lending memiliki pusat data di dalam negeri. Perusahaan juga wajib menerapkan pemantauan secara mandiri guna mengantisipasi beragam risiko, seperti likuiditas, siber, dan perlindungan data.

Para pelaku juga wajib mencatatkan diri di OJK untuk dikaji model bisnis dan produknya. Lalu, Otoritas akan memutuskan apakah perusahaan yang bersangkutan masuk regulatory sandbox atau tidak. Regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian untuk menilai keandalan proses bisnis, dan tata kelola fintech selama setahun. Dari sana akan muncul tiga jenis status, yaitu direkomendasikan, perbaikan, atau tidak direkomendasikan.

Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech (Aftech) Ajisatria Sulaeman mengakui POJK terkait fintech lending efektif mencegah skema ponzi ataupun shadow banking di Tanah Air. “Karen itu, kalau pun fintech ilegal asal Tiongkok datang ke Indonesia, sulit ada celahnya untuk melakukan penipuan,” kata dia.

Hanya saja, masih ada risiko yang perlu diantisipasi yakni banyaknya peminjam yang gagal bayar (non performing lLoan/NPL) karena bunga tinggi. Saat ini, sebagian perusahaan yang terdaftar di Aftech sudah berbagi daftar peminjam yang beritikad buruk (fraud) guna menurunkan risiko. Seiring penurunan risiko itu, besaran bunga atau biaya bisa ditekan.

Fintech P2P LendingBesaran biaya (bunga)Fintech Pay Day LoanBesaran biaya (bunga)
Koinworks18% per tahunTunaiKita0,7-0,95% per hari
Investree12-15% per tahunInvestree0,9-2,2% per bulan
Amartha 15% per tahunTunaiku3-6% per bulan
Modalku12-26% per tahunUang Teman1% per hari (maksimal)

Ke depan, dia berharap OJK menyiapkan sistem layanan informasi keuangan (SLIK) khusus untuk fintech dan membuka akses ke Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Dengan begitu, biaya penilaian kredit (credit scoring) turun agar tercipta efisiensi.

Sejalan dengan adanya regulasi dari OJK, kini ada 67 fintech lending yang terdaftar. Penyaluran pinjaman melalui fintech lending pun terus meningkat, dari Rp 284,15 miliar di akhir 2016, menjadi Rp 2,56 triliun pada 2017, dan kini mencapai Rp 9,2 triliun per Juli 2018. Hal ini menunjukan, fintech lending bisa membantu pemerintah mencapai target inklusi keuangan 75 % pada 2019.

Menurut Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Iinformatika Lis Lestari Sutjiati, industri keuangan konvensional hanya bisa merengkuh 59 % dari jumlah penduduk Indonesia. Maka, “masih ada gap 16 % atau 35 juta orang yang bisa digarap oleh fintech,” kata dia.

Data OJK juga menunjukan, perbankan hanya mampu membiayai kebutuhan pendanaan UMKM sebesar Rp 700 triliun dari total Rp 1.700 triliun. Artinya, ada celah pembiayaan sebesar Rp 1.000 triliun yang dapat diisi lewat fintech lending.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...