Sisi Buruk Artificial Intelligence di Balik Potensi Bisnis Besar

Wim Naude
Oleh Wim Naude
25 September 2021, 08:30
Wim Naude
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Pengunjung mengamati karya seni berbasis teknologi pada Festival Wave of Tomorrow di The Tribrata, Jakarta, Minggu (22/12/2019). Festival seni berbasis teknologi terbesar yang menghadirkan 14 karya seni media media baru dengan konsep dan teknik instalasi audiovisual, sensor, "virtual reality", "robotic", hingga "artificial intelligence" dari 13 kreator tanah air dan internasional tersebut berlangsung 20-29 Desember 2019.

Semakin banyak pemerintahan di dunia menerima teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dengan sangat penuh keyakinan. Pada 2018, setidaknya 22 negara, termasuk Uni Eropa, meluncurkan garis besar strategi nasional untuk membuat AI bagian dari pengembangan bisnis, dan banyak negara lain mengumumkan kerangka etis pengembangannya.

Uni Eropa mencatat lebih dari 290 kebijakan inisiatif AI di negara-negara anggotanya antara 2016 dan 2020. Yang terbaru adalah Irlandia, yang baru saja mengumumkan strategi nasional AI, “AI – Here for Good”. Negara itu ingin menjadi “pemimpin internasional dalam menggunakan AI untuk keuntungan bagi ekonomi dan masyarakat kami, melalui pendekatan yang fokus pada manusia dan beretika dalam pengembangan, adopsi, dan penggunaannya”.

Tujuan tersebut akan dicapai lewat delapan arahan kebijakan, termasuk meningkatkan kepercayaan dan pemahaman pada AI menggunakan “duta besar AI” yang akan menyebarkan pesan ke seluruh Irlandia. Aspek lain adalah untuk mempromosikan penggunaan AI oleh kalangan bisnis dan pemerintahan Irlandia dalam kerangka moral dan etis khusus.

Ada beberapa kekurangan dalam strategi ini, yang juga dialami negara lain (terlepas dari strategi AI yang jelas-jelas buruk, seperti faktor pengawasan warga oleh negara di Cina).

Semangat yang Cacat

Strategi-strategi semacam ini memiliki semangat menggebu-gebu dan histeria yang sama terkait AI. Contoh sederhana adalah CEO Alphabet (perusahaan induk Google), Sundar Pichai, yang pada 2016 mengklaim bahwa “AI adalah salah satu hal paling penting yang sedang manusia kerjakan. AI lebih penting dibanding, mungkin, listrik atau api.

Pichai berkata begitu karena model bisnis perusahaan dia sangat bergantung pada AI dan kepercayaan orang terhadap AI. Strategi Irlandia persis serupa dengan semangat itu dengan klaim bahwa AI akan melipatgandakan pertumbuhan ekonomi negara itu pada 2035. Negara itu tidak menjelaskan pertumbuhan siapa atau pertumbuhan yang bagaimana.

Strategi itu mempromosikan beragam aplikasi berbasis AI yang berguna - misalnya memperbaiki infrastruktur sepeda di Dublin, menyediakan alat-alat dalam bahasa Irlandia, menghemat energi, dan membuat hidup lebih mudah bagi penderita dementia - tapi sulit untuk memahami bagaimana ini semua dapat melipatgandakan pertumbuhan ekonomi.

Patut dicatat, AI sangat penting hanya bagi segelintir perusahaan platform digital seperti Google, Apple, Facebook, Amazon, dan Alibaba - bisa disingkat GAFAA. Mereka menikmati keuntungan sangat besar sebagai pelaku utama karena saat ini AI membutuhkan data sangat banyak. Semakin banyak orang menggunakan platform mereka, laba yang bisa diperoleh dari data meningkat drastis.

Ini memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan yang mampu bergerak terlebih dulu dan berhasil untuk memonopoli dan mencegah perusahaan lain ikut menikmati. Perusahaan platform digital mengganggu bisnis yang ada dengan menghancurkan perusahaan lain.

Contohnya adalah Google - yang pada dasarnya adalah mesin pencari web - mengganggu model bisnis surat kabar yang bergantung pada iklan, atau Apple yang menjual lebih banyak jam tangan dibanding industri jam Swiss yang telah berusia ratusan tahun.

Platform-platform ini juga menekan munculnya perusahaan baru, misalnya dengan membeli semua perusahaan baru yang berpotensi menjadi pesaing. Praktik ini mematikan inovasi.

Dan kini, para wirausahawan semakin “harus” berkompetisi lewat platform-platform ini - misalnya Amazon Markteplace. Mereka dapat menjadi korban perilaku buruk misalnya ulasan produk palsu oleh pesaing; peraturan penyedia platform yang tidak jelas dan tidak terduga; dan perubahan algoritme mendadak yang berdampak bagi bisnis mereka, misalnya membuat mereka sulit terlihat oleh calon pembeli. Ada juga fenomena wirausahawan digital yang hanya mampu menghasilkan laba yang cukup untuk bertahan hidup saja.

Halaman:
Wim Naude
Wim Naude
Professor of Economics, University College Cork, Irerland
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...