Omnibus Law Cipta Kerja Disahkan, Suara Buruh dan Pengusaha Terbelah
DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law menjadi undang-undang. Kalangan pengusaha menyambutnya. Sebaliknya, kalangan buruh menolak dan berencana mogok kerja.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Husni Mubarok mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja memberikan janji semu terhadap pekerjaan di maasa depan. Sebab, aturan tersebut dinilai mengurangi jaminan pekerjaan dan memungkinkan pengusaha untuk mengeksploitasi banyak pekerja kontrak.
"RUU Cipta Kerja memberikan janji semu akan tersedianya lebih banyak pekerjaan di masa depan. Pekerjaan macam apa yang diciptakan?" kata Husni seperti dikutip dalam keterangan pers, Senin (5/10).
Menurutnya, pekerja kontrak dapat tereksploitasi dengan upah rendah. Hal serupa dapat terjadi pada pekerja alih daya atau outsourcing yang kini terbuka di semua sektor.
Di samping itu, ia memperkirakan pekerjaan yang tersedia adalah pekerjaan dengan upah rendah yang terjamin, tanpa ada masa depan. Ia mengatakan, pekerjaan yang tersedia ialah pekerjaan yang tidak permanen yang didasarkan pada rasa takut untuk mendapatkan pekerjaan kontrak berikutnya.
Sementara, Ketua Umum Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia Subono menilai, pekerjaan baru yang dijanjikan oleh omnibus law bukanlah pekerjaan nyata. Sebab, upah yang diberikan murah dan bersifat sementara.
Padahal dalam krisis akibat pandemi, para buruh membutuhkan percepatan pemulihan ekonomi. Namun, lanjut dia, pemulihan ekonomi dinilai tidak datang dari investasi asing yang dapat mengeksploitasi tenaga kerja outsourcing dan merusak lingkungan.
Menurutnya, pemulihan ekonomi dapat dilakukan dengan peningkatan belanja domesti melalui pekerjaan tetap dan pemberian upah yang layak. “Hanya pembelanjaan domestik dengan dasar pekerjaan tetap dan upah layak yang dapat membantu Indonesia pulih dari pandemik,” kata Subono.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI) Hamdani menambahkan bahwa UU Cipta kerja juga mengancam hilangnya cuti berbayar, termasuk hak cuti melahirkan. "Mengapa pemerintah malah ingin menyerang kesehatan dan kesejahteraan kita?" katanya.
Tak hanya itu, penolakan juga datang dari serikat pekerja lainnya, yaitu Federasi Serikat Buruh Makanan dan minuman (FSBMM), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP), dan Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI). Oleh karena itu, FSPM, FSBMM, PPIP, Indonesia, SERBUK, dan FSP2KI mendukung agenda buruh Indonesia yang akan melakukan mogok nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020.
Sambutan Pengusaha
Sementara itu, pengusaha menyambut baik UU Cipta Kerja. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani berharap UU Cipta Kerja dapat mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan dan perluasan lapangan kerja.
“UU tersebut mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan membuka lapangan kerja, melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan, kemudahan bagi pelaku usaha terutama UMKM, ekosistem investasi yang kondusif, hingga tercipta lapangan kerja yang semakin besar untuk menjawab kebutuhan angkatan kerja yang terus bertambah” kata Rosan dalam siaran pers.
Menurutnya, pandemi Covid-19 berdampak luas tidak hanya pada kesehatan, namun juga pada ekonomi, termasuk penyediaan lapangan kerja. Saat ini banyak yang kehilangan pekerjaan, atau banyak pekerja yang bekerja menjadi paruh waktu.
Dengan banyaknya investasi yang masuk, lapangan perkerjaaan akan semakin terbuka dan meluas. “Kejadian pandemi Covid-19 memberikan dampak kontraksi perekonomian dan dunia usaha yang sangat signifikan, RUU Cipta Kerja menjadi penting dan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui program pemulihan dan transformasi ekonomi,” kata Rosan.
Dengan adanya dinamika perubahan ekonomi global, ia menilai perlu respons cepat dan tepat. Tanpa reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi akan tetap melambat.
“Penciptaan lapangan kerja harus dilakukan, yakni dengan mendorong peningkatan investasi sebesar 6,6-7% untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting, yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan konsumsi di kisaran 5,4-5,6%,” ujar Rosan.