Industri Kreatif dalam Bidikan Para Pengusung Modal

Desy Setyowati
8 April 2019, 08:00
ekonomi kreatif, industri kreatif
ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi
Direktur Akses Nonperbankan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Sugeng Santoso (kiri), bersama Deputi Akses Permodalan Fadjar Hutomo (tengah), dan Kasubdit Dana Masyarakat Hanifah (kanan) menyampaikan materi pada "FoodStartup" Indonesia, di Medan, Sumatera Utara, Selasa (11/4).

Sekarang, memesan kopi di kafe bisa dilakukan lewat aplikasi. Warunk Upnormal dan Fore Coffee telah memulainya.

Di Warunk Upnormal, pengunjung cukup duduk lalu memindai kode respons cepat alias Quick Response (QR) di meja makan. Menu yang tersedia akan muncul di aplikasi. Pemesanan dan pembayaran sekaligus dengan Go-Pay. Pesanan otomatis tercatat di counter kasir. Para pengunjung tak perlu beranjak dari kursi sembari menunggu hidangan datang.

Di bawah bendera Citra Rasa Prima (CRP) Group, Upnormal mempunyai 97 gerai di seluruh Indonesia. Aplikasinya diluncurkan pada Oktober 2018 dan memiliki sekitar 30 ribu pengguna. “Sistem pay at table baru kami perkenalkan di dua gerai: Upnormal Indofood Tower di Jakarta dan Dipati Ukur di Bandung,” kata Sarita Sutedja, salah satu pendiri CRP di Jakarta, Rabu (20/3) lalu.

(Baca Edisi KhususImpian Industri Kreatif Tanah Air Menapaki Jejak Korea)

Perkembangan Upnormal memang disokong oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Selain menu berbahan nasi, roti, dan pisang, Upnormal menjual lebih dari 20 kreasi Indomie di tiap gerainya. Tidak ada brand mie instan selain Indofood.

Hanya, Sarita enggan merinci detail kerja samanya dengan perusahaan milik Grup Salim itu, termasuk pendanaannya. “Kami tidak bisa memberikan jawaban karena kebijakan perusahaan,” ujar dia.

Founder Warunk Upnormal Sarita Surtedja
Founder Warunk Upnormal Sarita Surtedja (Katadata/Hindra K. Wijaya)

Berdiri sejak 2013, total gerai kuliner CRP Grup sudah lebih dari 300 unit. Selain Warunk Upnormal, CRP membawahi beberapa brand seperti Bakso Boedjangan, Nasi Goreng Rempah Mafia, Sambal Khas Karmila, Fish Wow Cheese, hingga Juice Kidding. Komposisi kepemilikan berbagai gerai ini adalah 70 % CRP dan 30 % oleh mitra waralaba.

Sementara itu, pengunjung di Fore Coffee tak perlu mendatangi gerainya untuk memesan secangkir kopi. Melalui aplikasi, pengguna cukup memesan kopi dan membayarnya dengan OVO. Untuk memperoleh layanan ini, konsumen memiliki opsi pengambilan kopi di gerai atau diantar dengan jasa ojek online.

Dengan dukungan modal US$ 8,5 juta atau setara Rp 127 miliar dari beberapa angel investor, Fore Coffee yang baru berdiri tahun lalu sudah memiliki 16 gerai di Jakarta. Di antara investor dalam putaran pendanaan awal itu adalah East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, dan Insignia Venture Partners.

(Baca Edisi KhususSinar Cerah Produk Industri Kreatif di Pasar Global)

Startup yang didirikan oleh Robin Boe, Jhoni Kusno, dan Elisa Suteja, ini berfokus menghadirkan specialty coffee. “Kami menggunakan berbagai teknologi, mulai dari aplikasi mobile yang kami buat sendiri, serta teknologi yang telah ada, seperti MokaPOS untuk memantau pembayaran, Member.id untuk loyalty platform, serta Go-Food, Grab Food, dan Traveloka Eats sebagai platform distribusi,” ujar Robin Boe, CEO Fore Coffee dalam siaran pers, Kamis (31/1) lalu.

T II/EdsusEkraf
Kopi buatan Javanero yang berhasil tembus pasar global. 

 Tak hanya di sektor kuliner, perusahaan-perusahaan modal ventura juga banyak mengucurkan investasi ke startup digital dan film. Dalam Startup Report 2018 yang dirilis DailySocial, nilai pendanaan yang masuk ke startup Indonesia mencapai US$ 5,5 miliar sepanjang tahun lalu. Meski, hampir setengahnya masuk ke kantong unicorn.

Di sektor Film, Ideosource misalnya, telah membiayai beberapa produk sinema, di antaranya Ayat-ayat Cinta 2, Kulari Ke Pantai, serta Aruna & Lidahnya. Tahun ini, Ideosource membidik sejumlah film. “Sudah ada lima film deal dan masih ada beberapa lain,” kata Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman kepada Katadata.co.id. “Genre drama masih dominan, ada drama muslim, drama komedi, dan drama remaja.”

Pasar industri film di Indonesia memang cukup menjanjikan. Jumlah penonton, layar bioskop hingga produksi film terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. (Baca: Ideosource Danai Lima Film Baru Tahun Ini)

Wakil Kepala Bekraf, Ricky Pesik menyatakan, pertumbuhan jumlah penonton di bioskop Indonesia sangat pesat. “Mencapai 230 % dalam lima tahun terakhir,” kata Ricky dalam diskusi mengenai industri kreatif Indonesia dalam rangkaian acara London Book Fair 2019 pada 12-14 Maret 2019.

Pada awal tahun ini, film drama Keluarga Cemara meraih satu juta penonton hanya dalam lima hari tayang. Sementara film Dilan 1991 telah mencapai lebih dari lima juta penonton, meski harus berebut layar dengan film dari Hollywood yang masuk box office global, Captain Marvel.

T I/EdsusEkraf
Kepala Bekraf Triawan Munaf bersama Direktur Utama Produksi Film Negara (PFN) M Abduh Aziz dan Direktur Keuangan Telkom Harry M Zen (kanan) memegang boneka karakter film serial animasi Petualangan Si Unyil dalam "soft launching" di Jakarta, Kamis (30/3).(ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Dalam industri kreatif, pendanaan pun bisa didapat secara kreatif, misalnya melalui patungan atau crowdfunding. PT Kirai Adiwarna Nusantara misalnya, pada awal 2018 lalu meluncurkan platform patungan Kolase.com.

Halaman:
Editor: Pingit Aria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...