• Seorang dokter residen biasanya menghabiskan waktu 60-80 jam kerja per pekan tanpa bayaran saat menempuh pendidikan spesialis. 
  • Undang-Undang No.13/2013 tentang Pendidikan Kedokteran sebetulnya mengatur dokter residen berhak menerima insentif dari rumah sakit atas jasanya.
  • Menteri Kesehatan ingin membangun sistem pendidikan dokter berbasis rumah sakit agar bisa memberikan insentif yang layak bagi para dokter spesialis.

Firman, bukan nama sebenarnya, mengingat kembali masa-masa berat ketika ia menjalani pendidikan dokter spesialis anestesi beberapa tahun silam. Aktivitasnya sudah dimulai sejak pagi buta. Pukul 06.00 ia sudah harus tiba di rumah sakit untuk laporan pagi sebelum kunjungan pasien bersama dokter konsultan.

Kegiatan berlanjut ke praktik latihan atau presentasi ilmiah. “Biasanya baru selesai jam 6 sore. Itupun kalau enggak dapat jadwal piket,” katanya bercerita kepada Katadata

Jika kebagian piket jaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau poli spesialis, Firman akan menghabiskan malam di rumah sakit. Tidak jarang ia harus bersiaga dua hari berturut-turut saat kena piket. 

Firman bercerita pendidikan residensi berlangsung dari Senin hingga Jumat. Kendati demikian, ada kalanya ia juga harus lembur di akhir pekan jika dibutuhkan. Dalam seminggu, jam kerjanya bisa mencapai 60-80 jam.

Meskipun menjalani jam kerja sekaligus pendidikan yang panjang, dokter residen seperti Firman tidak menerima bayaran. Dalam banyak kasus, para dokter ini harus mencari pekerjaan sampingan untuk biaya hidup.

Firman, misalnya, jika tidak kebagian piket jaga di IGD, ia berpraktik sebagai dokter umum di rumah sakit lain. Ini biasanya bisa berlangsung sampai subuh.

“Dari praktik dokter umum langsung berangkat lagi ke RS pendidikan. Benar-benar enggak ada tidur,” ia bercerita.

Meskipun sudah mengambil pekerjaan sampingan yang menyita banyak waktu, uang yang ia hasilkan belum cukup. Selain untuk biaya hidup, Firman harus membayar biaya perkuliahan yang tidak murah.

Biaya perkuliahan kedokteran spesialis bervariasi. Di Universitas Airlangga, uang pangkal pendidikan dipatok mulai dari Rp 10 juta hingga Rp 40 juta. Uang kuliah per semester mencapai Rp 10 juta. 

Sementara itu, Universitas Padjadjaran mematok uang pangkal Rp 10 juta - Rp 30 juta dengan uang kuliah Rp 15 juta - Rp 26 juta per semester. Sedangkan uang pangkal di Universitas Indonesia Rp 16,5 juta - Rp 75 juta dengan uang kuliah Rp 12,5 juta - Rp 22 juta per semester.

Selama empat tahun menempuh pendidikan spesialis, Firman harus memutar otak untuk menekan biaya hidup. Ia, misalnya, memilih untuk tinggal bersama mertuanya demi menghemat biaya tempat tinggal. Sementara untuk keperluan lain, dia bergantung pada pendapatan istrinya.

“Hidup saya pas-pasan banget saat Program Pendidikan Dokter Spesialis,” ujarnya.

Tantangan menempuh pendidikan dokter spesialis bukan cuma soal jam kerja yang panjang dan biaya hidup pas-pasan. Dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah, Erta Priadi Wirajaya, berkisah soal senioritas yang masih sangat kental selama menempuh pendidikan spesialis.

Erta menjelaskan, dokter residen tahun pertama memang tidak diperbolehkan memegang pasien. Kebanyakan mereka masih bekerja di bawah bimbingan dokter yang tingkatannya sudah lebih tinggi.  “Banyak juga yang diminta mengerjakan tugas seniornya,” kata Erta.

Belum lagi soal biaya lain-lain yang bisa bikin pengeluaran dokter residen membengkak.  “Misalnya residen tahun pertama ada yang suka disuruh membayarkan makanan seniornya,” tutur Erta.

Meskipun terkesan receh, biaya-biaya tak terduga ini bisa sangat membebani dokter residen. Selain biaya uang kuliah dan biaya hidup, dokter residen juga harus membayar biaya penelitian, membeli buku, dan lain sebagainya. 

Erta mengatakan seorang dokter residen bisa menghabiskan Rp 1 miliar, jika memperhitungkan biaya-biaya tak terduga. Salah satu komponen biaya terbesar, menurut Erta, adalah biaya penelitian tesis. Apalagi jika membutuhkan tes laboratorium, biayanya bisa membengkak sampai ratusan juta. 

Komik_Jalan panjang menjadi dokter spesialis_rev
(Katadata/ Joshua Siringo-ringo)

Tidak seperti kebanyakan negara lain, pendidikan dokter spesialis di Indonesia masih mewajibkan sidang tesis sebelum lulus. Pendadaran ini dilakukan setelah semua proses pendidikan dilalui. Selesai sidang pun peserta residensi masih harus lulus ujian komprehensif untuk mendapat gelar spesialis.

Sementara itu, pendidikan spesialis di banyak negara lain tidak membutuhkan sidang tesis. Peserta pendidikan hanya perlu lulus ujian komprehensif. Sidang tesis hanya dibutuhkan jika peserta ingin melanjutkan sebagai akademisi.

“Kadang kalau tidak pandai atur waktu, proses pendidikannya sudah beres tetapi tersendat di penelitian,” kata Erta. 

Hal ini pun menambah panjang waktu tempuh pendidikan para calon dokter spesialis di Indonesia. Demi mendapatkan gelar strata satu kedokteran, misalnya, perlu lima sampai enam tahun. Itu pun tidak bisa langsung bepraktik. Dokter harus melakukan magang dulu selama satu tahun sebelum betul-betul bisa menjadi dokter umum.

Ini berarti butuh waktu hampir tujuh tahun bagi seorang dokter untuk mendapat gaji penuh. Belum lagi jika melanjutkan ke jenjang spesialis dengan durasi empat sampai enam tahun. Paling tidak seorang dokter harus menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun sebelum bisa menerima gaji layak. 

Halaman:
Reporter: Reza Pahlevi
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement