Pemerintah berencana menerbitkan undang-undang (UU) sapu jagat alias omnibus law di bidang kesehatan. Ada 15 UU yang bakal direvisi melalui UU ini, seperti UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan, dan UU Keperawatan.
Salah satu tujuan revisi adalah untuk memudahkan registrasi dan perizinan dokter. Namun sejumlah organisasi profesi kedokteran menolak revisi. Mereka menilai kemudahan tersebut dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas layanan kesehatan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengklarifikasi, revisi UU Kesehatan tidak membuat wewenang sepenuhnya di bawah Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dia mengatakan, organisasi profesi tetap akan dilibatkan. Pada dasarnya, kata Budi, RUU Kesehatan berorientasi pada perbaikan layanan kesehatan masyarakat.
Mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini menyoroti masalah kurangnya dokter, khususnya dokter spesialis. Persoalan ini akan diurai dengan terbitnya UU Kesehatan yang baru. Kekurangan dokter ini membuat akses untuk kesehatan bagi masyarakat sangat terbatas.
Budi mencontohkan kasus kematian jantung pada anak. Katanya, 50 ribu anak lahir dengan kelainan jantung bawaan dan 20 ribu kasus butuh operasi. Kurangnya dokter sekaligus fasilitas kesehatan di Indonesia membuat operasi hanya mampu dilakukan untuk 6 ribu anak.
“Ada 14 ribu bayi meninggal setiap tahun karena nggak punya dokter spesialis yang cukup,” kata Budi dalam sebuah Forum Komunikasi IDI pada Minggu, 27 November 2022.
Jumlah Dokter tidak Ideal
Selama ini rasio dokter di Indonesia masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kekurangan dokter ini makin mencolok pada dokter spesialis.
Mengutip data Bank Dunia, Indonesia memiliki rasio dokter 0,4 per 1.000 penduduk. WHO menetapkan setiap negara seharusnya memiliki rasio 1 per 1.000 penduduk. Rasio dokter di Indonesia ini juga menjadi yang kedua terburuk di Asia Tenggara.
Sementara untuk dokter spesialis ketersediaannya lebih rendah lagi. Total ada 54.190 dokter spesialis di Indonesia, menurut data Kementerian Kesehatan. Artinya hanya ada 0,2 dokter spesialis per 1.000 penduduk, atau 200 dokter per 1 juta penduduk.
Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menemukan, baru 74,9% RSUD kabupaten/kota yang memiliki empat dokter spesialis dasar dan tiga dokter spesialis lainnya.
Bappenas menetapkan rasio ideal dokter spesialis seharusnya sebesar 0,28 dokter spesialis per 1.000 penduduk. Kemenkes menemukan, Indonesia saat ini kekurangan sebanyak 18.752 dokter spesialis.
Kekurangan terbesar justru ditemukan untuk dokter spesialis dasar yang dibutuhkan di semua rumah sakit seperti obstetri ginekologi atau kandungan, kesehatan anak, dan penyakit dalam. Kekurangan dokter kandungan bahkan mencapai 3.941 dokter.
Masalah Distribusi atau Produksi?
Jika dilihat per provinsi, jumlah dokter spesialis masih terpusat di Pulau Jawa. DKI Jakarta terdapat 10.137 dokter spesialis, Jawa Timur sebanyak 7.725 dokter spesialis, Jawa Barat sebanyak 7.235 dokter spesialis, dan Jawa Tengah sebanyak 5.017 dokter spesialis.
Meski jumlah penduduknya lebih sedikit, DKI Jakarta memiliki dokter spesialis terbanyak. Ini membuat rasio dokter spesialis di Jakarta mencapai 0,78 dokter per 1.000 penduduk. Angka ini jauh di atas provinsi lainnya.
Namun distribusi yang tidak seimbang ini bukan satu-satunya masalah. Dokter-dokter spesialis cenderung enggan berpraktik di luar Jawa lantaran kurangnya fasilitas dan alat-alat kesehatan di luar Jawa.
Contohnya fasilitas layanan penyakit stroke. Data Kemenkes menunjukkan, hanya ada 19 rumah sakit umum pemerintah yang memiliki layanan ini di seluruh Indonesia. Dari jumlah ini, hanya empat layanan stroke yang berada di luar Sumatra, Jawa, dan Bali.
Padahal, prevalensi stroke di luar ketiga pulau tersebut juga terhitung tinggi. Rata-rata prevalensi stroke di Kalimantan, misalnya, mencapai 12,4%. Padahal tidak ada rumah sakit pemerintah yang memiliki layanan stroke di Kalimantan.
Masalah lain adalah minimnya lulusan pendidikan dokter spesialis. Saat ini, hanya ada 20 dari 92 fakultas kedokteran yang memberikan program pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Tidak hanya kekurangan fakultas, produksi dokter spesialis dari 20 fakultas ini juga masih rendah. Selain itu, baru ada 12 provinsi yang dapat menghasilkan dokter spesialis di Indonesia.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat ada 1.999 lulusan pendidikan dokter spesialis di Indonesia pada 2021. Jumlah lulusan ini hanya 10,7% dari kekurangan dokter spesialis yang dicatat Kemenkes.
Tidak hanya jumlahnya yang minim, lulusan mayoritas berada di Jawa. Hampir 70% dari total lulusan dokter spesialis berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa.
Sedikitnya lulusan dokter spesialis menyebabkan butuh waktu bertahun-tahun untuk memenuhi kebutuhan sesuai Permenkes 56/2014. Kemenkes memperkirakan, butuh waktu antara tujuh sampai 36 tahun untuk memenuhi target dokter spesialis. Perbedaan durasi ini menyesuaikan dengan jenis dokter spesialis.
Kemenkes berupaya meningkatkan kuota mahasiswa per dosen untuk mengatasi persoalan ini. Sekarang rasionya masih 1 dosen untuk 3 mahasiswa (1:3) akan dinaikkan menjadi 1 banding 5. Jumlah dosen juga rencananya akan ditambah dua kali lipat dari yang ada sekarang.
Perubahan skema ini tidak otomatis memangkas waktu produksi dokter spesialis. Meski waktu pemenuhan dapat dipangkas, simulasi Kemenkes menunjukkan, pemenuhan kebutuhan dokter spesialis masih membutuhkan waktu hingga 8 tahun dengan rencana skema baru ini.
Budi juga mengungkapkan, rencana penambahan fakultas kedokteran untuk pendidikan dokter spesialis di tiap daerah. “Kalau kita buka (FK spesialis) di Papua kemungkinan mereka stay (di Papua) jauh lebih besar dibandingkan orang Surabaya kita paksa kirim ke Papua,” kata dia.
Editor: Aria W. Yudhistira