Pencabutan Subsidi Listrik 450 VA Berpotensi Tekan Daya Beli
Rencana pemerintah yang akan menyisir data penerima subsidi listrik pelanggan golongan 450 Volt Ampere (VA) mendapat kritik. Pasalnya, jutaan konsumen berpotensi tak lagi menerima bantuan pemerintah tersebut.
Pemerintah masih merumuskan skema subsidi listrik yang akan diimplementasikan pada tahun depan. Nantinya data penerima bantuan mengacu pada data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Kementerian Sosial, bukan data PLN.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana pencabutan subsidi harus dilakukan secara hati-hati. Langkah ini memang akan menghemat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Namun, efek ke penerimaan negara juga bisa menurun karena perubahan konsumsi masyarakat yang subsidinya dicabut.
Apabila banyak pelanggan 450 VA tak masuk dalam daftar DTKS, mereka akan membayar listrik lebih mahal. Hal ini akan berdampak pada penurunan porsi belanja barang lainnya. “Jangan sampai ingin hemat di satu sisi, tapi penerimaan negara justru turun,” ujar Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (9/6).
Implikasi dari pencabutan subsidi listrik 900 VA tahun 2017, misalnya, masih terasa sampai tiga tahun berikutnya. Inflasi terus berada di level rendah karena sisi permintaan melemah.
Karena itu, pemerintah sebaiknya tidak sembrono mencabut subsidi listrik. Apalagi golongan 450 VA paling terdampak pandemi Covid-19 saat ini. Mereka termasuk dalam kategori miskin dan rentan miskin.
Bhima mencontohkan, pekerja yang menyewa rumah kos dengan listrik 450 VA. “Betul pemilik kos termasuk kelas menengah, tidak berhak mendapat subsidi. Tapi kalau subsidinya dicabut, yang kena penyewa, biaya kos jadi lebih mahal,” ucapnya.
Dari data Bank Indonesia per April 2021, indeks penghasilan kelompok pengeluaran Rp 1 juta sampai Rp 2 juta per bulan masih berada di level 79,6. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan kelompok Rp 4,1 juta sampai Rp 5 juta yakni 97,1. Masyarakat paling bawah pendapatannya masih jauh dari kata pulih di tengah pandemi.
Indikator lain yang menunjukkan ekonomi belum kembali seperti sebelum pandemi adalah inflasi inti. Komponen inflasi inti per Mei 2021 berada di 0,24%. Angkanya jauh di bawah jika dibandingkan momen Lebaran sebelum pandemi, yaitu 0,38%.
Inflasi inti itu dapat menjadi penentu kapan momen tepat melakukan penyesuaian subsidi listrik. “Kalau terburu-buru, pemulihan ekonomi bisa reverse alias memutar balik kembali melemah,” ucap Bhima.
Salah satu bentuk tujuan subsidi pemerintah adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Namun, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat, kebijakan itu tidak terintegrasi dengan pos penerima bantuan perlindungan sosial.
Artinya, antar satu pos bantuan dengan yang lainnya seolah-olah terpisah, misalnya subsidi dan bantuan pangan non-tunai. Kemampuan subsidi dalam menurunkan tingkat kemiskinan pun menurun selama rentang waktu 2015 sampai 2018. "Hal inilah yang kemudian saya kira menjadi alasan pemerintah dalam mengubah skema subsidi listrik mulai tahun 2022," ujarnya.
Dengan integrasi antara subsidi dan bantuan sosial di 2022, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan dapat menurun. Namun, daftar DTKS ternyata juga banyak ditemukan pemerintah daerah yang tidak melakukan pembaruan data. Dengan begitu, potensi kesalahan data pun akan terjadi.
Pada 2016 pemerintah pernah melakukan perbaikan data penyaluran subsidi listrik sampai 2018. Pada periode itu, jumlah penerimanya berkurang signifikan, dari 50,45 juta pelanggan menjadi 36,44 juta pelanggan.
Dampaknya, subsidi listrik turun dari Rp 63,11 triliun pada 2016 menjadi Rp 61,11 triliun pada 2020. “Jadi, memang perlu diwaspadai penggunaan DTKS ini. Ketidakakuratannya akan sangat berdampak pada kemampuan subsidi listrik dalam mengurangi program kemiskinan," ujarnya.
PLN Kerja Sama dengan Kemensos
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ida Nuryatin Finahari mengatakan pihaknya masih menunggu data DTKS terbaru dari Kementerian Sosial.
Hingga kini dari 24 juta pelanggan listrik 450 VA, hanya 9,3 juta pelanggan saja yang seharusnya menerima bantuan listrik dari pemerintah. "Saat ini kami masih menunggu data DTKS ter-update dari Kemensos, setelah dapat data, akan dipadankan datanya oleh PLN," ujarnya.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Syahril sebelumnya mengatakan perusahaan terus bekerja sama dengan Kementerian Sosial dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Koordinasi dilakukan terutama untuk melakukan pemadanan data PLN dan Kemensos. "Jumlah pelanggan 450 VA saat ini adalah 24 juta. Namun, dari data DTKS hanya sekitar 9,3 juta," kata dia pada Senin lalu.
PLN terus memperbarui data per 2020. Hingga kini ada tambahan 1,5 juta pelanggan yang akan selesai pada update pemadanan data di akhir Juni 2021.