• Demi pembangunan, pemerintah menyebut Indonesia tidak dapat menghentikan deforestasi sepenuhnya di 2030. 
  • Penurunan angka deforestasi dan kebakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir karena faktor alam dan pandemi. 
  • COP26 masih belum berhasil mendorong pemerataan transisi energi bersih dunia.

Komitmen Indonesia soal mengurangi penebangan hutan atau deforestasii jadi pertanyaan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut pembangunan besar-besaran era Presiden Joko Widodo tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi.

Kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola sesuai kaidah berkelanjutan dan berkeadilan. “Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” tulis Siti dalam akun Facebook-nya, Rabu (3/11). 

Advertisement

Pernyataan itu muncul hanya berselang dua hari usai Jokowi mengatakan laju deforestasi Indonesia telah turun signifikan. Angkanya terendah dalam 20 tahun terakhir. Lalu, kebakaran hutan telah turun 82% pada 2020. Indonesia juga telah merehabilitasi tiga juta lahan kritis pada 2010 sampai 2019. 

Targetnya, rehabilitasi hutan bakau atau mangrove akan mencapai 600 ribu hektare sampai 2024. “Sektor yang semula menyumbang 60% emisi karbon Indonesia akan mencapai net carbon sink selambatnya pada 2030,” kata Jokowi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim alias Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Inggris.

Siti mengatakan, net carbon sink jangan diartikan sebagai zero deforestation. Pemerintah telah memiliki komitmen pengendalian emisi kehutanan dan pemanfaatan lahan alias FoLU agar tercapai netralitasi karbon di sektor itu pada 2030. 

Indonesia, menurut dia, tidak bisa memaksakan diri untuk zero deforestation di 2030. Keputusan tersebut menjadi tidak tepat dan tidak adil. Negara maju sudah selesai membangun sejak 1979-an, lalu sekarang menikmatinya. Sedangkan negara ini baru melakukannya. 

Di Kalimatan dan Sumatera masih banyak jalan yang terputus karena harus melewati hutan. Lalu, ada lebih 34 ribu desa berada di kawasan hutan. “Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi?” ucap Siti. 

Karena itu, ia menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Konsep setiap negara berbeda. Eropa punya definisi sendiri soal deforestasi, begitu pula Afrika dan Asia. “Karena itu, pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detail. Bila perlu harus sangat rinci,” katanya.

Deforestasi Masih Terjadi di Indonesia

Greenpeace Indonesia menyebut laju deforestasi Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dari sebelumnya 2,45 juta hektare pada 2003 sampai 2011 menjadi 4,8 juta hektare pada 2011 hingga  2019. 

Tren penurunan deforestasi pada rentang 2019 sampai 2021 tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi Covid-19. “Aktivitas pembukaan lahan terhambat,” kata Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam keterangan tertulisnya. 

Faktanya, dari 2002 hingga 2019 terjadi penggundulan hutan seluas 1,69 juta hektare dari konsesi hutan tanaman industri dan 2,77 juta hektare kebun sawit. “Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi akan tetap tinggi,” ucapnya.

Perkiraannya, penggundulan hutan akan terjadi seiring dengan berbagai proyek strategis nasional (PSN) yang sedang dijalankan pemerintah. Salah satunya adalah program lumbung pangan atau food estate. Jutaan hektare hutan alam akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan.

Soal penurunan kebakaran hutan, Greenpeace berpendapat hal ini terjadi karena gangguan anomali fenomena La Nina, bukan sepenuhnya upaya pemerintah. Angka penurunan kebakaran pada 2020 dibanding 2019 yang mencapai 296.942 hektare ini sebenarnya tidak rendah. Luasnya setara empat kali kota DKI Jakarta. 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia alias Walhi pun menyebut kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi. Catatan Forest Watch Indonesia (FWI), pada 2021 ada sekitar 229 ribu hektare yang terbakar. 

Pada 2019, luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 1,6 juta hektare. Dari angka ini, 82% terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Di dua pulau ini pula izin-izin industri ekstraktif menguasai hutan dan wilayah adat. 

Greenpeace berpendapat, rencana pemerintah akan merestorasi hutan mangrove terdengar hebat. Namun, luas hutan bakau yang rusak di Indonesia mencapai 1,8 juta hektare. Upaya restorasi 600 ribu hektare menjadi tidak ambisius apabila dibandingkan dengan kerusakannya. 

Pemerintah saat ini dinilai lebih mengutamakan investasi yang memunculkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir. Kebijakan tersebut dapat merusak ekosistem mangrove dan menghambat upaya restorasi.

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement