Cara Mencapai Target Biodiesel tanpa Deforestasi

Hero Marhaento
Oleh Hero Marhaento
19 Agustus 2024, 08:40
Hero Marhaento
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Upaya Indonesia mengurangi gas rumah kaca di sektor transportasi masih sangat tergantung pada pemakaian bahan bakar nabati, terutama biodiesel, yang diklaim lebih ramah lingkungan. Pada 2030 mendatang, Indonesia menargetkan penggunaan biodiesel dari kelapa sawit dapat mencapai 18 juta kiloliter atau naik signifikan dari pemakaian pada 2023 sebanyak 13,1 juta kiloliter. Target tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan biodiesel untuk program pencampuran 40% CPO dalam solar, dikenal dengan program B40.

Seiring waktu, pemerintah melalui presiden terpilih Prabowo Subianto ternyata ingin menaikkan target menjadi lebih ambisius melalui program B50 pada 2029. Prabowo bahkan menginginkan Indonesia bisa mengonsumsi solar yang berasal dari sawit 100% untuk mengurangi impor BBM. Pun, permintaan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) bisa lebih tinggi dari rencana yang ada karena pemerintah juga berencana memanfaatkan minyak sawit untuk membuat bioavtur.

Target tersebut mau tak mau bakal meningkatkan permintaan sawit dalam negeri. Banyak pihak mengkhawatirkan program biodiesel Indonesia, yang diklaim sebagai salah satu pencapaian pengurangan emisi, justru berujung pada perluasan lahan baru bahkan deforestasi. Studi Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia bersama Greenpeace pada 2020 bahkan meramalkan risiko pembukaan lahan baru seluas 9 juta hektare (ha) untuk memenuhi program B50 Indonesia.

Kekhawatiran ini beralasan. Data Organisasi Pangan Dunia (FAO) mencatat, peningkatan produksi crude palm oil (CPO) Indonesia selama 2000-2020 berbanding lurus dengan perluasan kebun. Tren produksi mulai stagnan lalu menurun pada akhir 2019 ketika pemerintah melakukan moratorium izin pembukaan hutan dan gambut, serta moratorium izin pembukaan kelapa sawit baru.

Kini, pandangan mendukung perluasan kebun sawit juga kembali mengemuka di publik. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sempat menyatakan bahwa, untuk mencapai B100, pemerintah harus mencabut kebijakan moratorium.

Opsi lainnya yang diusulkan GAPKI adalah perluasan kebun sawit khusus produksi biodiesel di kawasan hutan yang terdegradasi. Namun, saya menganggap opsi ini berisiko karena kawasan hutan yang terdegradasi semestinya dipulihkan kembali dengan tanaman hutan.

Lantas, apakah perluasan kebun adalah satu-satunya cara untuk mengantisipasi lonjakan permintaan minyak sawit untuk bahan bakar nabati di dalam negeri? Kertas kebijakan yang saya terbitkan pada November 2023 bersama tim dari Universitas Gadjah Mada dan Yayasan WWF Indonesia justru membuktikan masih ada jalan untuk meningkatkan produksi biodiesel tanpa harus membuka lahan baru ataupun deforestasi.

Mengoptimalkan Produksi

Kertas kebijakan kami menyarankan upaya intensifikasi atau peningkatan produksi sawit melalui berbagai cara. Misalnya melalui peremajaan perkebunan sawit rakyat.

Badan Pusat Statistik mencatat, perkebunan sawit rakyat hanya mampu memproduksi CPO rata-rata 3 ton per ha per tahun. Torehan ini merupakan yang terendah dibandingkan perkebunan swasta sekitar 4,2 ton, disusul perkebunan negara 4,7 ton.

Berdasarkan evaluasi kami, masalah produktivitas ini terjadi karena 20% dari total 6,9 juta ha luas perkebunan sawit rakyat merupakan perkebunan tua, alias di atas 25 tahun.

Pemerintah, melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), sebetulnya mengalokasikan dana bantuan replanting kepada para petani. Namun, realisasi program ini masih amat rendah. Dari target 3,28 juta ha selesai dalam 5 tahun, hanya tercapai 27%-nya.  

Banyak alasan mengapa bantuan replanting masih jauh panggang dari api. Salah satunya terjadi karena petani sawit kecil kesulitan mengurus Surat Tanda Daftar Budi Daya (STDB), sebagai salah satu syarat mengajukan bantuan.

Pemerintah, oleh karena itu, perlu memerhatikan masalah ini. Kami mengusulkan agar Komite Pengarah BPDP-KS yang terdiri dari lintas kementerian turut menggenjot bantuan pengurusan STDB secara masif. Harapannya, petani sawit kecil dapat memenuhi syarat mengakses bantuan dan segera mengganti pohon-pohon sawit tua mereka.

Selain urusan birokrasi, petani yang ingin melakukan peremajaan tanaman (replanting) terbentur oleh risiko kehilangan pendapatan karena peremajaan tanaman berarti hilangnya potensi panen hampir empat tahun. Artinya, karena tidak ada alternatif penghasilan, petani terpaksa memanen sawit dari pohon-pohon tua yang tinggi besar tapi buahnya sedikit, ketimbang bertani tanpa potensi pemasukan sama sekali.

Guna mengatasi kekhawatiran ini, pemerintah perlu menaikkan alokasi pendanaan replanting. Dana replanting sebesar Rp30 juta rupiah per ha belum cukup memenuhi kebutuhan hidup petani saat menunggu sawit berbuah. Saya mendengar pemerintah sudah menyetujui kenaikan dana replanting menjadi 60 juta, tapi hingga saat ini keputusannya belum terbit. 

Selain itu, pemerintah perlu mengenalkan Sistem Pertanaman Ganda di area yang baru diremajakan dan belum menghasilkan buah. Sistem ini memasukkan jenis-jenis tanaman dengan rotasi pendek seperti cabai di area tanam baru kebun sawit. Hasil dari tanaman sela dapat menambah penghasilan petani.

Selain di perkebunan rakyat, produktivitas sawit di perkebunan negara maupun perkebunan swasta juga masih bisa ditingkatkan hingga 5,6 ton per ha per tahun. Kami merekomendasikan langkah-langkah seperti pengelolaan kanopi, pengelolaan air, aplikasi pemupukan yang tepat, pengelolaan penyakit, hingga pengelolaan panen.

Dengan strategi-strategi di atas, kami menaksir produktivitas sawit bisa surplus hingga 138% dari permintaan CPO untuk biodiesel—bahkan untuk memenuhi lonjakan permintaan akibat program B50.

Memanfaatkan Lahan Terlantar?

Selain intensifikasi, kebun sawit sebenarnya masih bisa kita perluas, tapi terbatas di lahan-lahan konsesi izin usaha perkebunan (IUP) maupun hak guna usaha (HGU) yang belum ditanami. Jumlahnya sekitar 2,4 juta ha.

Memang, ada sebagian dari kawasan konsesi tersebut yang tergolong kawasan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) ataupun gambut sehingga tidak boleh ditanami. Namun, menurut dugaan kami luas kawasan seperti ini tidak signifikan.

Persoalan utama lahan-lahan yang terlantar adalah karena risiko konflik sosial pemilik konsesi dengan masyarakat. Pemilik konsesi perlu segera bertanggung jawab menyelesaikan persoalan ini dengan berbagai intervensi dan pemberdayaan sosial. 

Jangan sampai ada lagi area konsesi yang terlantar hanya karena pemilik hanya ingin mengambil kayu-kayu dari hutan-hutan alam yang mereka babat. Pemerintah tak perlu segan mengakhiri izin ataupun konsesi jika para pemiliknya tak mau mengelola lahan untuk perkebunan. Tanah-tanah terlantar masih bisa dimanfaatkan oleh perusahaan yang bertanggung jawab, ataupun oleh masyarakat melalui skema reforma agraria.

Mengakhiri Ego Sektoral

Upaya mencapai produksi biodiesel sawit yang optimal memerlukan kerja sama semua pihak, termasuk mengakhiri ego sektoral. Saya menggarisbawahi pemerintah perlu membuat aturan-aturan yang lebih progresif untuk memenuhi pasokan CPO untuk sawit.

Salah satu langkahnya adalah revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 24 Tahun 2021 untuk memasukkan petani dalam rantai pasok biodiesel, bukan hanya perusahaan. Selama ini, pemerintah tidak pernah melibatkan para petani dalam program biodiesel. Padahal, luas kebun sawit rakyat mendekati angka 50% dari total luas kebun sawit nasional.

Langkah lainnya adalah dengan memanfaatkan buah sawit dari dalam kawasan hutan yang sudah mendapatkan surat keputusan (SK) perhutanan sosial. Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9 Tahun 2021 sebenarnya sudah mengakui legalitas petani dalam mengelola kebun sawit asal dilakukan dengan skema jangka benah. Sayangnya, langkah ini belum diikuti perubahan regulasi di Kementerian Pertanian sehingga petani sawit perhutanan sosial tetap tidak bisa menjual buah sawit secara legal dan tidak bisa mengakses bantuan apapun.

Selain dua langkah di atas, kementerian dan lembaga juga perlu memperkuat kerja sama untuk memastikan pencapaian target biodiesel nasional tak menimbulkan masalah lingkungan di kemudian hari. Patut kita ingat bahwa alasan utama percepatan program biodiesel adalah untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil dan mengendalikan perubahan iklim, bukan cuma percepatan keuntungan bagi segelintir pihak.

Hero Marhaento
Hero Marhaento
Ketua Tim Strategi Jangka Benah UGM

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...