Wisma BCA Foresta dan Peluang Besar Bisnis Energi Hijau RI

Syahrizal Sidik
21 Juni 2022, 13:48
Wisma BCA Foresta menjadi gedung BCA pertama yang menerapkan konsep green building
Katadata/Syahrizal Sidik
Wisma BCA Foresta menjadi gedung BCA pertama yang menerapkan konsep green building

Gedung perkantoran itu tinggi menjulang 15 lantai. Berlokasi tidak jauh dari Jakarta, bank berkapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjawab tantangan perubahan iklim dengan menghadirkan gedung ramah lingkungan (green building) Wisma BCA Foresta di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan.

Sebagaimana diketahui, saat ini, semua negara di dunia sedang berusaha mengurangi emisi nol karbon pada 2050 berdasarkan Perjanjian Paris 2015. Sedangkan, Indonesia menargetkan bisa mencapai emisi nol karbon mulai 2060 mendatang. Komisaris BCA yang juga pengamat ekonomi Cyrillus Harinowo mengungkapkan, isu mengenai pemanasan global menjadi bencana katastropik yang melanda dunia.

"Seluruh dunia, sejak Perjanjian Paris 2015 mengenai perubahan iklim terus berupaya mengatasi masalah pemanasan global," terangnya, saat Media Tour Wisma BCA Foresta, BSD belum lama ini.

Menurutnya, pembangunan berkelanjutan merupakan tugas seluruh korporasi dan organisasi, tidak terkecuali bagi industri perbankan. Wisma BCA Foresta, BSD menjadi salah satu perwujudan upaya pembangunan berkelanjutan yang dimiliki BCA. Wisma BCA Foresta beroperasi sejak Oktober 2020 ini diperuntukkan sebagai kantor pusat BCA dengan luas bangunan lebih dari 45.000 meter persegi. Gedung ini turut dilengkapi sejumlah fasilitas canggih seperti teknologi panel surya dan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 

SPKLU yang dihadirkan di Wisma BCA Foresta dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat yang berada di sekitar Wisma BCA Foresta karena beroperasi selama 24 jam dalam 7 hari. Terdapat dua jenis mesin charging dengan kapasitas 7 kW yang dapat melakukan pengisian selama 6 jam dan 22 kW dengan pengisian selama 2 jam.

 Wisma BCA Foresta dilengkapi fasilitas SPKLU
Wisma BCA Foresta dilengkapi fasilitas SPKLU (Katadata/Syahrizal Sidik)

 

SVP Logistic & Building BCA Victor Teguh Sutedja menuturkan, berbagai teknologi yang diterapkan di Wisma BCA Foresta antara lain Building Automation System, penggunaan kaca double glass (low E) untuk menahan panas sehingga dapat mengurangi penggunaan pendingin udara (air conditioner).

Pasalnya, saat ini hampir 70% biaya terbesar dikontribusi dari pengeluaran pendingin udara. Selanjutnya, gedung ini mempunyai fasilitas air minum reverse osmosis, pemanfaatan air recycle dan rain water.

Perusahaan, kata dia, menjadikan Wisma BCA Foresta sebagai percontohan dan diharapkan, dapat diimplementasikan di gedung lainnya di Indonesia. Perusahaan, kata dia menggandeng konsultan asal Singapura sejak merancang gedung ramah lingkungan tersebut.  "Komitmen kita akan selalu mengimplementasikan ESG, agar kita diharapkan bisa berdampak ke masyarakat dan lingkungan hidup," tuturnya.

Pada kesempatan sama, EVP Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F. Haryn mengungkapkan, perusahaan memprioritaskan 9 poin penerapan Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi tiga pilar utama. Pertama, bisnis yang berkelanjutan. Kemudian, perusahaan juga menerapkan budaya yang berkelanjutkan dan berkarya yang membeli nilai.

"Kami pelaku perbankan nasional memiliki perbankan berkelanjutan, kami akan menjadi perbankan yang bertanggungjawab tidak hanya kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, tapi untuk keberlangsungan lingkungan di Indonesia," tutur Hera.

Tantangan Pembiayaan Hijau di Indonesia

Hera melanjutkan, BCA turut aktif mendanai pembiayaan hijau di Indonesia. Sampai dengan Maret 2022, emiten bersandi BBCA ini telah menyalurkan pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing) senilai Rp 161,6 triliun. "Nilai itu mengambil porsi 25 persen dari portofolio BCA, secara year on year, naik 25,6%," imbuhnya.

Secara rinci, pembiayaan itu disalurkan senilai Rp 89,2 triliun kepada sektor mikro dan Usaha Kecil Menengah (UKM), atau naik 16,7% secara tahunan. Sedangkan, Rp 72,4 triliun digelontorkan kepada sektor non mikro dan Usaha Kecil Menengah (UKM), tumbuh 38,7%.

menyalurkan pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing) senilai Rp 161,6 triliun.
BCA menyalurkan pembiayaan berkelanjutan senilai Rp 161,6 triliun hingga Maret 2022. (Paparan BCA)

Penyaluran pembiayaan hijau BCA antara lain mengucur ke sektor transportasi yang berwawasan lingkungan (eco-friendly), proyek pengolahan limbah dan air, proyek energi baru terbarukan (EBT). BCA juga akan terus menyasar peluang sektor pembiayaan yang potensial di bisnis yang berbasis Environtmental, Sustainability and Governance (ESG). 

 "Kami akan terus melihat kandidat segmen pembiayaan di sektor ESG yang berpotensi kami support terus menerus," bebernya.

Setali tiga uang, berdasarkan catatan OJK, pembiayaan hijau oleh industri perbankan hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 809,75 triliun. Jumlah ini mengambil porsi 14 % dari total kredit perbankan yang mencapai Rp 5.768,58 triliun. Meski jumlahnya cukup besar, masih ada sejumput tantangan dalam pembiayaan hijau di Indonesia.

Tantangan itu, menurut Ketua Bidang Hukum Perbanas Fransiska Oei antara lain, proyek renewable energy rata-rata memiliki kebutuhan pembiayaan dengan jangka waktu yang panjang.

Selanjutnya, kebanyakan nilai investasi EBT mahal atau nilainya besar dengan risiko yang besar pula. Misalnya, pembangkit listrik geothermal, biaya proyeknya cukup tinggi tetapi tidak pasti keadaannya misal terjadi bencana alam.

"Jadi, sudah kreditnya mahal, butuh tenor lama, dan risikonya tinggi. Di sisi lain, debiturnya juga masih terbatas," ungkapnya, dalam wawancara dengan Katadata.co.id.

Potensi Besar Bisnis Energi Berkelanjutan di Indonesia

Di balik risikonya yang besar, sektor energi terbarukan ke depan akan menjadi tren di dunia dan memberi kontribusi besar bagi perekonomian nasional.

Seperti dinukil dalam buku Menuju Zaman Renewable Energy (2022:9) yang ditulis Cyrillus Harinowo bersama Ika Maya Khaidir, disebutkan, dampak perkembangan bisnis renewable energy diperkirakan akan sangat besar.

Indikasinya sudah terlihat dari ekspor besi dan baja yang sudah melampaui ekspor minyak dan gas dengan andil sebesar US$ 21 miliar. Sedangkan, ekspor migas hanya mencapai US$ 12 miliar. Ekspor besi dan baja ini utamanya dikontribusi dari pabrik nikel pig iron, pabrik feronikel, pabrik baja karbon, pabrik baja nirkarat yang banyak dibangun di Morowali, Konawe, Halmahera dan Pulau Obi.

"Kekayaan pabrik nikel di Tanah Air membuat Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam percaturan supply chain mobil maupun Energy Storage System secara global," tulis Cyirillus.

Dia juga membeberkan, khusus mengenai mobil listrik perkembangannya sudah menjadi suatu keharusan dan menjadi tren dunia. Inggris sudah mendeklarasikan tidak lagi menjual kendaraan berbahan bakar bensin pada 2030, sedang Norwegia sudah melarang penggunaan mobil berbahan bakar fosil pada 2025. Saat ini, negara di Semenangjung barat Skandinavia itu telah menjual lebih dari 90% mobil listrik.

"Mobil listrik tidak lagi fesyen, tapi mandatory, suatu keharusan. Kita akan bergeser ke sana," terangnya.

Selain itu, kata dia, Indonesia juga relatif diuntungkan karena memiliki ekosistem mobil listrik terintegrasi mulai dari hulu ke hilir dengan memiliki pabrik mobil listrik pertama yang dibangun Hyundai di Cikarang dan terbaru, Presiden Jokowi meresmikan pabrik bahan baku baterai di Kawasan Industri Batang. 

Berkaitan dengan era perubahan menuju era kendaaran ramah lingkungan yang akan terjadi ke depan itu, kita tentu mengingat apa yang dikatakan oleh aktivis lngkungan Swedia, Greta Thunberg. Dia mengatakan, “change is coming, whether you like it or not.” Ya, perubahan menuju transisi energi bersih akan segera datang.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...