Implementasi kebijakan wajib menggunakan 20% bahan bakar nabati (biodiesel) dalam campuran solar atau Program B20, tak bisa berjalan mulus. Kebijakan yang seharusnya sudah bisa berjalan mulai 1 September 2018 ini ternyata belum maksimal. Hingga penghujung bulan ini belum semua solar yang dijual di Indonesia menggunakan B20.

Kebijakan B20 resmi diluncurkan pada 31 Agustus 2018 melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 41 Tahun 2018, yang ditandatangani pada 23 Agustus. Namun, persiapannya terlihat kurang matang, makanya banyak masalah yang terjadi saat kebijakan ini mulai dijalankan.

Tiga hari sebelum penerapan aturan ini, baru dua perusahaan penyalur solar yang meneken kontrak dengan pemasok bahan bakar nabati (BBN). Mengacu Keputusan Menteri ESDM Nomor 1936 K/10/MEM/2018, seharusnya ada 11 penyalur BBM yang menandatangani kontrak.

Bahkan, hingga 22 September baru 6 perusahaan yang menandatangani kontrak.  Padahal, pemerintah telah menetapkan sanksi denda Rp 6.000 per liter, hingga pencabutan izin usaha bagi perusahaan penyalur BBM yang masih menjual solar tanpa campuran minyak nabati 20%, mulai bulan ini.

(Baca: Hingga Pekan Keempat, Pertamina Masih Belum Optimal Salurkan B20)

Menjelang pekan kedua kebijakan ini berjalan, pemerintah melakukan evaluasi melalui rapat koordinasi terbatas (Rakortas) beberapa menteri dan perwakilan badan usaha terkait. Dalam rapat ini terungkap adanya masalah yang menghambat penerapan B20, salah satunya kendala distribusi.

“Kami lihat ada beberapa kendala. Seperti harus angkut ke depo tertentu di pulau tertentu harus pakai kapal. Nah. pengadaan kapalnya sendiri tak bisa 1-2 hari. Ada yang 14 hari," kata Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto usai rapat B20, di Jakarta, Kamis (13/9).

Setelah rapat tersebut, masalah distribusi ini belum juga selesai dan terus berlanjut. Berdasarkan catatan katadata.co.id, rapat pembahasan penerapan program B20 sudah lima kali dilakukan dalam dua pekan terakhir di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Data Kementerian ESDM mencatat hingga 20 September lalu, ada 19 perusahaan biodiesel yang harus mengirimkan minyak nabati ke 158 terminal BBM. Namun, hanya 101 terminal yang telah mendapatkan pasokan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) yang diperlukan untuk campuran solar agar menjadi biodiesel. Sisanya 57 terminal BBM belum dapat pasokan, karena masalah pengiriman.

(Baca: Atasi Kendala Distribusi, B20 Harus Dipesan 14 Hari Sebelum Pengiriman)

PT Pertamina mengungkapkan hingga 25 September 2018, pasokan FAME baru mencapai 62%. Pertamina baru menerima bahan bakar nabati tersebut sebanyak 224.607 kiloliter (KL) dari total kebutuhan hingga periode ini 359.734 KL. Adapun untuk September 2018, Pertamina sudah memesan FAME sebanyak 431.681 KL.

Akibat permasalahan pasokan FAME, masih ada terminal BBM yang menyalurkan solar murni tanpa kandungan bahan bakar nabati. Kementerian ESDM mengungkapkan beberapa terminal tersebut, yakni milik Pertamina di Toli-Toli, Sorong, Tarakan, dan Berau; AKR di Kalimantan Tengah; ExxonMobil di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Papua; Petro Energy di Bontang; Gasemas di Bontang.

Kementerian ESDM mencatat ada lima hal yang menjadi permasalahan dalam penerapan B20 saat ini. Pertama, adanya keterbatasan jumlah kapal pengangkut FAME, sehingga perlu waktu untuk mencari kapal. Kedua, pengiriman biodiesel yang menggunakan double handling (penanganan ganda).

Halaman:
Reporter: Michael Reily, Anggita Rezki Amelia
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement