Indonesia hampir pasti menguasai 51,23% saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Puja-puji keberhasilan mengakuisisi Freeport akan segera berakhir karena sejumlah pekerjaan rumah berat sudah menanti Inalum pasca akuisisi saham yang ditargetkan rampung akhir tahun ini. Mulai dari kewajiban pembangunan smelter, penanganan masalah limbah, dan upaya memaksimalkan kontribusi Freeport ke penerimaan negara.

Alih kepemilikan mayoritas saham PTFI diresmikan dalam penandatanganan antara PT Inalum (Persero), Freeport McMoRan Inc (FCX) dan PT Rio Tinto Indonesia, akhir bulan lalu. Penandatanganan dilakukan Direktur Utama Inalum Budi G. Sadikin, Chief Executive Officer (CEO) FCX Richard Adkerson, dan perwakilan Rio Tinto, disaksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Advertisement

Sejumlah perjanjian yang diteken acara tersebut adalah perjanjian divestasi saham PTFI, perjanjian jual beli saham Rio Tinto-Inalum, perjanjian pemegang saham PTFI, serta perjanjian pengambilalihan saham PTFI. Sejumlah perjanjian merupakan langkah lanjutan dari penandatanganan Head of Agreement (HoA) atau perjanjian prinsip divestasi saham antara Inalum dan FCX pada 12 Juli 2018.

Lewat serangkaian perjanjian tersebut, Inalum membeli 40% hak kelola atau participating interest (PI) tambang Grasberg, Papua, dari tangan Rio Tinto senilai US$ 3,85 miliar. PI tersebut nantinya akan dikonversi menjadi 40% saham PTFI. Ditambah dengan saham milik pemerintah saat ini dan saham PT Indocopper Investasi yang juga diakusisi, total saham Inalum di Freeport Indonesia akan mencapai 51,38%. Inalum akan membayar US$ 3,85 miliar atau Rp 56 triliun yang akan dilunasi sebelum tutup tahun 2018.

Pemerintah tampak betul mengkapitalisasi proses pengambilalihan saham ini sebagai salah satu keberhasilan penting era Presiden Joko Widodo. Problemnya, pekerjaan rumah berat menanti setelah PTFI menjadi milik Indonesia. Salah satunya terkait penanganan masalah lingkungan, yang sempat mengemuka dalam rapat Inalum dengam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (10/10).

Menurut Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu, Inalum akan menanggung kerugian negara atas kerusakan lingkungan yang dilakukan Freeport Indonesia apabila  transaksi pembelian saham dilakukan sebelum permasalahan lingkungan tersebut diselesaikan. “Kalau membeli perusahaan, kita akan menikmati asetnya, tapi kita juga harus menanggung kewajibannya,” katanya. 

(Baca: BPK: Potensi Kerugian Negara Akibat Tambang Freeport Rp 185 Triliun)

Freeport
Freeport (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
 
 

Masalah lingkungan ini terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun lalu. BPK menemukan potensi kerugian negara akibat operasional Freeport di Papua sebesar Rp 185,58 triliun. Penyebabnya dari sejumlah pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu. Pelanggaran pertama, penggunaan kawasan hutan lindung dalam operasional tambang Freeport seluas minimal 4.535,93 hektare tanpa izin. Akibatnya, negara berpotensi merugi sekitar Rp 270 miliar.

Kedua, kelebihan pencairan jaminan reklamasi Freeport sebesar US$ 1,43 juta atau Rp 19,4 miliar. Ketiga, Freeport belum membayar kewajiban penempatan dana pascatambang kepada Pemerintah untuk periode 2016 senilai US$ 22,286 juta atau sekitar Rp 293 miliar. Keempat, dampak negatif pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary, hingga kawasan laut sebesar Rp 185 triliun.

Kelima, kegiatan operasional pertambangan Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan perpanjangan tanggul barat dan timur dilakukan tanpa izin lingkungan. DMLZ merupakan salah satu kawasan tambang bawah tanah Freeport. Keenam, pengawasan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) atas pengelolaan lingkungan Freeport belum dilaksanakan sesuai aturan. Salah satunya amblesan permukaan tanah akibat kegiatan tambang bawah tanah Freeport. 

(Baca: Masalah Limbah Tailing Freeport Belum Juga Rampung)

Pemerintah telah menargetkan penanganan masalah tailing dan limbah tambang akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan. Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ilyas Assad mengatakan pihaknya juga akan menyusun roadmap atau peta jalan penanganan lingkungan hidup di area tambang Freeport. "Dalam waktu dekat ini, roadmap tersebut nantinya soal pengaturan (limbah dan masalah lingkungan)," ujarnya.

Di luar masalah lingkungan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan setelah resmi menjadi anak usaha Inalum, pemerintah akan mengganti Kontrak Karya (KK) Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pemerintah akan menerbitkan IUPK dengan masa operasi maksimal 2x10 tahun sampai 2041.

“Izin yang akan diberikan Pemerintah kepada PTFI dalam bentuk IUPK merupakan komitmen Pemerintah dalam menjaga iklim investasi sehingga memberi kepastian dan keamanan kepada investor asing untuk berinvestasi di Indonesia” kata Jonan.

Meski begitu, Freeport Indonesia tetap wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga berkapasitas 2-2,6 juta ton per tahun. Pemerintah akan terus memonitor dan mengevaluasi perkembangan pembangunan smelter ini agar dapat selesai dalam waktu kurang dari 5 tahun.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement