Sepanjang tahun ini, Indonesia sudah dua kali "kebobolan" bencana tsunami. Tanpa persiapan dan tanda bahaya, tsunami datang dan merenggut ribuan korban, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah pada September lalu, serta di Banten dan Lampung pekan lalu. Bencana ini menjadi teguran bagi pemerintah untuk membenahi sistem peringatan dini agar tidak terlalu banyak memakan korban.

Sabtu malam (22/12), sekitar pukul 21.30 WIB, gelombang tsunami setinggi 3 meter menghancurkan ratusan bangunan dan ribuan manusia menjadi korban di Banten dan Lampung. Bencana ini datang tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan dan prediksi akan datangnya tsunami dari lembaga berwenang, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Bahkan, yang sangat disayangkan kedua lembaga ini awalnya menyatakan tidak ada tsunami di sekitar Selat Sunda tersebut. Tanpa memastikan terlebih dahulu, mereka mengatakan yang terjadi hanya gelombang air laut pasang. Ini merupakan fenomena biasa yang terjadi saat bulan purnama.

Dalam akun twitter-nya, BMKG mengatakan tidak ada gempa yang menyebabkan tsunami. "Yang terjadi di Anyer dan sekitarnya bukan tsunami, melainkan gelombang air pasang. Terlebih, malam ini ada fenomena bulan purnama," dalam keterangan resmi di akun @InfoBMKG, Sabtu malam (22/12).

(Baca: Sebagian Pengungsi di Lampung Belum Terjamah Bantuan)

Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pun menyatakan hal yang sama. Dia mengacu pada laporan BMKG bahwa tidak ada gempa besar yang dapat membangkitkan tsunami, baik gempa di sekitar Selat Sunda maupun di Samudera Hindia. Fenomena gelombang pasang ini juga tidak ada hubungannya dengan erupsi Anak Gunung Krakatau, yang terjadi sejak pagi. Erupsinya tergolong kecil dan tidak menimbulkan pengaruh kenaikan gelombang air laut.

“Jadi fenomena yang ada saat ini bukan tsunami. Tidak ada tsunami di wilayah Indonesia saat ini,” kata Sutopo dalam keterangan tertulisnya yang diunggah di akun Twitter @BNPB_Indonesia, pada Sabtu malam.

Namun, selang beberapa jam kemudian kedua lembaga ini meralat pernyataannya. Tanpa ada permintaan maaf, BMKG menghapus cuitannya. Kemudian mengeluarkan rilis baru yang menyebutkan adanya tsunami di Anyer dan Lampung. BMKG sulit memastikan tsunami tersebut karena tidak ada gempa sebelumnya.

Sutopo, meminta maaf atas adanya perubahan informasi yang disampaikan oleh BMKG sesuai analisis terbaru. Tsunami yang menghantam Kabupaten Pandeglang, Serang, Lampung Selatan, dan Tanggamus itu mungkin terjadi akibat adanya kombinasi dua faktor alam, erupsi Anak Gunung Krakatau dan gelombang pasang akibat bulan purnama.

(Lihat Foto: Duka Tersisa Setelah Tsunami Menerjang Selat Sunda)

Tsunami Banten-Lampung
(BNPB)

Tiga bulan lalu, gempa dan tsunami juga menerjang Sulawesi Tengah. Bencana ini menewaskan 2.101 jiwa, 1.373 orang belum ditemukan, dan 4.438 orang luka-luka. Sebenarnya sinyal peringatan dini sudah menyala sebelum terjadi tsunami. Namun, BMKG mematikan sinyal tersebut karena merasa sudah aman. Beberapa saat kemudian tsunami benar-benar terjadi.

Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, sensor peringatan dini tsunami di Palu gagal mengirimkan sinyal. Alatnya berfungsi, tapi jaringan komunikasinya rusak karena terkena gempa. BMKG baru bisa menganalisis potensi tsunami dari sensor peringatan dini di Mamuju yang masih berfungsi.

Banyaknya korban yang terkena bencana tsunami, seharusnya bisa diantisipasi jika sistem peringatan dini berjalan dengan baik. Setidaknya, masyarakat bisa mendapatkan informasi lebih dahulu mengenai potensi tsunami yang akan terjadi di suatu wilayah, sehingga punya peluang untuk evakuasi.

Keterbatasan dana dan peralatan yang seadanya membuat sistem peringatan dini tidak maksimal. Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Tiar Prasetya mengatakan ketiadaan peringatan dini tsunami di Banten dan Lampung karena tidak ada gempa yang terjadi pada malam itu. "Memang tidak ada warning, karena secara BMKG mencatat tidak ada gempa yang terjadi malam itu", ujarnya di Jakarta, Selasa (25/12). Selama ini prediksi BMKG mengenai potensi tsunami memang mengacu pada gempa, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah.

Sebenarnya BMKG telah memiliki sistem peringatan dini tsunami, yakni InaTEWS. Sistem yang diluncurkan sejak 2009 ini menggabungkan data seismik, GPS, Buoy, dan Tide Gauge. Masalahnya, keterbatasan infrastruktur membuat tidak semua data tersebut bisa diperoleh.

Indonesia Rawan Tsunami
(BNPB)

BMKG memiliki 263 stasiun seismik untuk mendeteksi gempa di Indonesia. Alat ini dapat mendeteksi potensi tsunami dalam 5 menit setelah adanya gempa. Karena jumlah stasiunnya cukup banyak, data dari seismograf ini menjadi andalan dalam pemantauan tsunami. Idealnya, semua data di InaTEWS bisa dimanfaatkan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement