Warung kelontong naik kelas dengan masuknya para unicorn, bahkan decacorn. Tempat untuk menjajakan kebutuhan sehari-hari itu menjadi incaran startup bervaluasi di atas US$ 1 miliar dan US$ 10 miliar tersebut. Perusahaan yang bergerak di e-commerce, teknologi finansial, hingga pembiayaan digital ini berlomba-lomba menjadikan toko kelontong sebagai mitra mereka.

Dengan masuknya perusahaan-perusahaan rintisan -seperti Bukalapak, Tokopedia, hingga Gojek- pemilik toko kelontong di beberapa kota menjalani usahanya tak lagi secara konvensional. Mata rantai bisnis mereka bisa dilakukan secara digital, mulai dari membeli dagangan hingga bertransaksi dengan pembeli.

Yogi misalnya. Pria 31 tahun ini tidak lagi berbelanja ke pasar induk untuk memenuhi kebutuhan warungnya di Pejaten, Jakarta. Biasanya ia memesan lewat platform Bukalapak, lalu barang akan sampai keesokan harinya.

Pembeli di warungnya pun bisa bertransaksi secara non-tunai menggunakan beragam layanan dompet digital seperti OVO, GoPay, DANA, dan LinkAja. “Pendapatan meningkat hingga 10 % per bulan,” kata Yogi kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Ia menjadi mitra Bukalapak sudah setahun. Kini Yogi bisa menjual beragam kebutuhan pokok hingga produk digital seperti pulsa, bayar tagihan listrik, dan air maupun asuransi.

(Baca: Integrasikan Layanan Online-Offline, Tokopedia Gaet 200 Ribu Warung)

Penjual Bakso di Kemang Timur, Edi, 33 tahun, juga mengadopsi metode pembayaran berbasis kode Quick Response (QR Code). Penjualannya meningkat 42 % setelah menerapkan transaksi digital ini. Dalam sehari ia bisa menjual 70 - 100 porsi.

Head of Corporate Communications Bukalapak Intan Wibisono mengatakan, ekosistem digital berkembang pesat. “Kami menyelaraskan strategi untuk menjadikan Mitra Bukalapak di garda depan dalam meningkatkan adopsi teknologi, terutama di kawasan tertinggal, terdepan dan terluar Indonesia,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (20/11).

Mitra Bukalapak merupakan sebutan bagi pemilik warung tradisional dan agen penjual yang bergabung dengan perusahaan. Co-Founder sekaligus Presiden Bukalapak Fajrin Rasyid menyatakan, perusahaannya bakal berfokus pada segmen warung dalam lima tahun ke depan.

Kepada mitra warung dan agen, Bukalapak menawarkan layanan grosir untuk kebutuhan sembako. Perusahaannya juga memberikan promosi berupa uang kembali alias cashback dan diskon untuk produk digital seperti pulsa hingga tagihan listrik. Dengan begitu, ada selisih yang bisa menjadi keuntungan mitra.

Saat ini, Bukalapak menggaet 1,2 juta warung tradisional dan 1,3 juta agen di 477 kota atau kabupaten. Konsep seperti ini disebut Online to Offline (O2O), di mana proses bisnisnya dilakukan secara online dan offline.

Kue Besar Warung Kelontong bagi Perusaahaan Startup

Besarnya ceruk di warung kelontong terlihat dari riset Euromonitor International. Pada tahun lalu mayoritas masyarakat Indonesia, India, dan Filipina berbelanja di toko kelontong. Dari total nilai pasar retail sebesar US$ 521 miliar, sebanyak US$ 479,3 miliar atau 92 % di antaranya merupakan transaksi toko kelontong. Lihat bagan Databoks di bawah ini:

Menurut Euromonitor, potensi ini yang memicu berbagai startup untuk menggaet toko kelontong dengan memberikan pelayanan digital agar bertransformasi menjadi modern. Tokopedia dan Bukalapak memimpin dalam menawarkan toko kelontong melalui online to offline.

Bagaimana besarnya transaksi retail di warung kelontong juga tergambar dari data CLSA. Riset perusahaan sekuritas ini menyebutkan bahwa warung berkontribusi 65-70 % terhadap transaksi retail nasional. Model business to business (B to B) seperti Mitra Bukalapak atau Mitra Tokopedia ini, menurut CLSA, berpeluang mendorong laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan ke arah positif.

Dalam laporan bertajuk ‘e-warungs Indonesia’s new digital battleground’ yang dirilis September lalu, CLSA menyebutkan bahwa EBITDA Bukalapak sedikit negatif. Padahal, nilai transaksi atau Gross Merchandise Value (GMV) mencapai US$ 1,8 miliar pada 2019. Bukalapak optimistis EBITDA-nya bakal positif dalam enam bulan ke depan.

Bagi Bukalapak, skema O2O ini berkontribusi 10 % terhadap total pengguna baru. Di satu sisi, biaya akuisisi konsumen alias customer acquisition costs (CACs) dengan skema ini hanya US$ 2 per pelanggan atau 10-20 % dari pengeluaran CACs yang biasa digunakan.

(Baca: Bertemu Bos Bukalapak dan Gojek, Menteri Kominfo Kaji Bisnis Startup)

Data tersebut menunjukkan bahwa perusahaan bisa meningkatkan jumlah pengguna dengan biaya yang lebih murah. Karena itu, CLSA menilai bahwa segmen warung bakal menjadi ‘medan perang’ selanjutnya bagi para unicorn dan decacorn di Indonesia.

Grab, misalnya, sudah melihat potensi tersebut. Decacorn asal Singapura ini mengakuisisi startup penyedia layanan jual-beli berbasis digital, Kudo pada 2017 lalu. Kini, Kudo berubah nama menjadi GrabKios dan menyediakan beberapa layanan baru.

Konsumen bisa investasi emas, menabung untuk umrah, mengirim barang, asuransi ponsel, membeli pulsa dan sembako hingga mendaftarkan diri menjadi mitra Grab lewat GrabKios. Saat ini, Grab menggaet 2,6 juta mitra GrabKios di 500 kota atau kabupaten Indonesia.

grabkios
Grabkios . Sudah ada 2,6 juta mitra GrabKios di 500 kota atau kabupaten. (instagram/@grabkios.id)

Head of GrabKios Agung Nugroho tidak menyebutkan potensi warung tradisional di Tanah Air, sehingga Grab mulai serius merambah segmen ini. Ia hanya menyampaikan bahwa perusahaanya berfokus meningkatkan transaksi mitra.

Ada tiga caranya, yakni memperluas jenis layanan, memberikan akses modal, dan mengurangi biaya usaha. Ia mengklaim, pendapatan mitra meningkat 30-40 % sejak bergabung. Perusahaannya pun menargetkan empat juta mitra pada akhir 2021.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement