Industri Kelapa Sawit Khawatir Dampak Dibukanya Data HGU untuk Publik

Yuliawati
Oleh Yuliawati
29 Juni 2017, 09:00
Kelapa sawit
Arief Kamaludin|KATADATA
Petani panen buah kelapa sawit di salah satu perkebunan di Riau.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) mengkhawatirkan dampak kebijakan pemerintah bila membuka dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit kepada publik. Saat ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sedang dalam pembahasan lintas eselon, terkait putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan pemerintah membuka dokumen HGU lahan kelapa sawit di Kalimantan.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyanto mengatakan bila dokumen HGU dibuka untuk publik akan mengganggu iklim investasi. Dia memprediksi akan muncul kericuhan dan kegaduhan terkait data lahan.  "Pengusaha menjadi tidak fokus dalam berusaha, akan muncul protes dan disoroti publik, hal ini membuat ketidaktenangan," kata Joko dihubungi Katadata, pekan lalu.

Joko menilai HGU seharusnya menjadi dokumen pribadi perusahaan, seperti rekening perbankan. Apabila dibuka, dia mengatakan seharusnya untuk kepentingan khusus seperti penyelidikan kasus hukum. "Dokumen HGU itu sangat sensitif, apabila dibuka seperti menelanjangi Indonesia dan dapat mengganggu stabilitas makro ekonomi," kata Joko yang juga menjabat Wakil Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk.

(Baca: Pemerintah Didesak Perpanjang Moratorium Pembukaan Lahan)

Dokumen HGU dianggap sebagai informasi publik dimulai dari proses gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) di Komite Informasi Publik  (KIP) pada Desember 2015. FWI menggugat kementerian ATR/BPN untuk membuka data HGU di Kalimantan, daerah yang paling banyak terdapat lahan sawit. "Sebelumnya dibawa ke KIP,  kami sudah mengajukan permintaan data kepada kementerian, namun tak mendapat tanggapan," kata aktivis FWI, Linda Rosalina dihubungi Katadata.

FWI berargumen permohonan data HGU untuk keperluan riset analisis terjadinya konflik lahan, yang hasilnya hendak direkomendasikan kepada pemerintah. "Konflik lahan terjadi karena tidak ada keterbukaan informasi, perusahaan mengklaim memiliki HGU yang di lapangan ternyata tumpang tindih dengan masyarakat, sehingga kerap terjadi konflik," kata Linda.

Salah satu konflik tumpang tindih lahan akibat tak ada transparansi dokumen yang ditangani FWI di antaranya dalam kasus antara masyarakat adat Dayak Benuaq dengan perusahaan sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT BSMJ) di Muara Tae, Kalimantan Timur.

(Baca: Pemerintah Bentuk Tim untuk Rombak Aturan Kepemilikan Tanah)

Di dalam persidangan, kementerian menyatakan dapat memberikan data HGU, kecuali penyebutan nama pemilik. Alasannya, nama pemilik merupakan hak perdata dan hanya dapat diakses pemerintah untuk kepentingan hukum. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan aturan pendaftaran tanah.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...