Peluang Sektor Pangan Jadi Andalan Ekonomi Setelah Pandemi
Pandemi Covid-19 memukul perekonomian berbagai negara dan menimbulkan resesi, termasuk Indonesia. Akibat pandemi Covid-19, pertumbuhan domestik bruto (PDB) RI pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini masing-masing minus 5,32% dan minus 3,49%.
Bukan hanya ancaman resesi, pandemi juga berpotensi terjadi krisis pangan seperti yang diwaspadai Badan Pangan Dunia (FAO). Sejak awal pandemi, Presiden Joko Widodo pun meminta seluruh kepala daerah untuk mewaspadai krisis pangan.
Masalah pangan memang patut diperhatikan bukan hanya di masa pandemi. Presiden Jokowi menilai pengembangan sektor pangan menjadi penting karena meningkatnya kebutuhan pangan sejalan melonjaknya penduduk di seluruh dunia. Lonjakan populasi dunia itu hampir setengahnya berada di kawasan Asia, termasuk di Tiongkok, India, dan Indonesia.
Presiden menilai kondisi ini membuka peluang yang menjanjikan bagi sektor pangan, karena kebutuhannya dan pasarnya sangat besar, dan diprediksi akan terus tumbuh ke depannya. "Namun pengembangan sektor pangan membutuhkan cara-cara baru yang inovatif," ujar Jokowi dalam acara Jakarta Food Security Summit (JFSS) yang ke-5 yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bekerja sama dengan Katadata, Rabu (18/11).
Di tengah ancaman pandemi Covid-19, sektor pangan mampu tumbuh positif meninggalkan lainnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada kuartal kedua dan ketiga 2020 masing-masing tumbuh sebesar 2,19% dan 2,15%.
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan selama ini memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni 14,68%. Adapun sektor penyumbang utama yakni industri pengolahan yang berkontribusi 19,86%, pada kuartal ketiga ini masih minus 4,31%.
Sektor lain yang selama ini menjadi pilar ekonomi seperti industri konstruksi dan pertambangan juga anjlok. Pada kuartal ketiga, sektor konstruksi minus 4,52 %, dan sektor pertambangan minus 4,28 %.
"Selama Covid-19 sektor yang tetap tumbuh positif sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada saat semua sektor terkontraksi," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengisi agenda JFSS ke-5.
Ketua Umum Kadin Rosan P. Roeslani menyatakan sektor pangan berpeluang terus tumbuh. Subsektor pangan ini pada kuartal kedua dan ketiga 2020 tumbuh masing-masing 9,23% dan 7,14%. Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi selama tiga tahun terakhir.
Ia menilai dengan pertumbuhan sektor pangan yang terus meningkat dapat menjadi modal penting dalam perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal keempat maupun 2021. "Sektor (pangan) ini punya potensi besar untuk tumbuh, karena itu pertumbuhan sektor ini perlu diprioritaskan di masa mendatang," kata Rosan.
Rosan menilai sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan industri pengolahan, jika bisa terintegrasi dari hulu ke hilir maka bisa menyumbang besar bagi perekonomian nasional.
Tantangan Pengembangan Pangan
Indonesia masih tertinggal dengan beberapa negara di Asia Tenggara dalam mengembangkan sektor pertanian. Misalnya, Vietnam mampu menjadi produsen beras nomor satu di dunia, Thailand juga mampu menjadi produsen beras nomor dua di dunia dan sejumlah produk hortikultura. Begitu pula dengan Malaysia yang mampu mengembangkan durian lokalnya.
Kadin menginisiasi model kemitraan inclusive closed loop sebagai upaya meningkatkan efisiensi produksi untuk memacu kinerja sektor pangan nasional. Inclusive closed loop merupakan upaya menjaga ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan.
Dalam skema ini, petani tak hanya terhubung dengan pemerintah, namun dengan lembaga keuangan, perusahaan, hingga ritel. Tujuannya adalah sinergi seluruh mata rantai pertanian agar menciptakan efisiensi dan peningkatan kualitas komoditas.
Beberapa inisiatif yang sedang berjalan seperti penerapan inclusive closed loop di lahan pertanian cabai di Garut, Jawa Barat dan industri minyak sawit perlu terus dikembangkan dan diperbaharui agar produktivitas dan nilai tambah petani semakin meningkat.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis, Pangan dan Kehutanan, Franky O. Widjaja mengatakan para petani yang mendapatkan pendampingan tersebar di seluruh Indonesia dan telah mampu meningkatan produktivitas sekitar 70% dan pendapatan sekitar 50%-200%. “Kadin bersama PISAgro, bertekad untuk meningkatkan pendampingan menjadi dua juta petani pada 2023,” kata Franky.
Skema inclusive closed loop sebagai strategi pangan Indonesia yang dapat berlanjut pasca Covid-19. Setidaknya ada tiga manfaat dari penerapan skema inclusive closed loop.
Pertama, meningkatkan kesejahteraan petani. Survei PRISMA mengenai “Dampak Covid-19 terhadap Petani,” pada Oktober 2020 menyebutkan pandemi Covid-19 mengakibatkan penurunan permintaan dan harga jual produk pertanian.
Kesejahteraan petani, peternak dan nelayan Indonesia dapat dilihat dari naiknya Nilai Tukar Petani (NTP) dari tahun ke tahun. Pandemi Covid-19 menghempaskan NTP ke level terendah sejak 2009. Bahkan antara April dan Juli 2020 angka NTP di bawah 100. Kondisi ini semakin memprihatinkan terutama di tengah kondisi panen raya yang seharusnya berlangsung Mei 2020.
Data BPS menunjukkan NTP sejak Agustus naik 0,56% (month on month/mom) menjadi 100,65. Pada Oktober 2020 naik mencapai 102,25 atau naik 0,58% dari bulan sebelumnya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menganggap kenaikan NTP karena kontribusi sektor pertanian yang meningkat selama pandemi. “Saya yakin ada kontribusi pertanian yang bisa menggerakkan ekonomi,” kata mantan Gubernur Sulawesi Selatan tersebut.
Kedua, ketahanan pangan. The Economist Intelligence Unit mengukur tingkat ketahanan pangan di 113 negara melalui Global Food Security Index (GFSI). Menurut GFSI ketahanan pangan Indonesia cenderung membaik dalam enam tahun terakhir.
Selama pandemi Covid-19, berbagai pekerjaan infrastruktur besar hingga kebijakan strategis terus dilakukan demi menggenjot produksi pangan.
Ketiga, keberlanjutan lingkungan. Berdasarkan penelitian FAO (Food and Agriculture Organization), pertanian adalah salah satu sektor yang menyumbangkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) yang tinggi. Emisi GRK merupakan salah satu penyumbang perubahan iklim.
Penelitian FAO sejalan dengan data BPS yang menunjukkan bahwa emisi karbon dari sektor pertanian cukup tinggi dan jumlahnya terus meningkat. Selama 2012-17, sektor pertanian mengeluarkan emisi GRK lebih tinggi daripada sektor industri dan limbah, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,7% per tahun.
Rosan mengatakan seiring tingginya permintaan pangan maka program pertanian berkelanjutan harus jadi pedoman dalam pengembangan pertanian di Indonesia. "Khususnya pada masa pandemi dan berlanjut pasca-pandemi,” kata Rosan.