Langkah Twitter dan Facebook Blokir Akun Trump Tekan Arus Hoaks 73 %
Langkah Twitter dan Facebook memblokir akun Presiden Amerika Serikat Donald Trump sejak Kamis (7/1) lalu berhasil menekan arus disinformasi di platform tersebut. Riset lembaga Zignal Labs menyebutkan arus disinformasi dan kabar hoaks secara daring terkait dengan isu pemilihan presiden AS berkurang 73 % setelah Trump tak menggunakan Twitter dan akun media sosial lainnya.
Business Insider melaporkan Zignal Labs memantau arus informasi di media sosial selama tujuh hari dimulai pada 9 Januari 2021. Hasilnya, percakapan di media sosial soal pemalsuan hasil pemilu berkurang dari 2,5 juta menjadi 688 ribu percakapan dalam berbagai platform media sosial. Percakapan yang dihitung termasuk isu dengan kategori penipuan, peretasan mesin, perusakan surat suara, dan konspirasi lainnya di balik pemilu AS 2020.
Tagar #FightforTrump, #HoldTheLine, dan kata-kata March for Trump juga turun drastis sebanyak 95 % dalam periode yang sama. Data ini menunjukkan bahwa perusahaan teknologi memiliki kemampuan untuk membatasi misinformasi secara efektif.
Twitter dan Facebook memblokir akun Trump terkait kerusuhan di gedung Capitol, Washington DC pekan lalu (6/1). Twitter memblokir akun Trump secara permanen, karena cuitan Trump dikhawatirkan mendorong penghasutan kekerasan. Facebook juga membekukan media sosial pemimpin AS itu hingga pelantikan Joe Biden dan Kamala Harris sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang baru pada 20 Januari.
Pada Selasa (12/1), YouTube milik Google pun menangguhkan channel Trump karena dianggap melanggar kebijakan terkait penghasutan kekerasan. Dengan begitu, saluran ini tidak dapat mengunggah video baru maupun siaran langsung minimal hingga tujuh hari. “Ini dapat diperpanjang,” ujar perusahaan dikutip dari Reuters, Rabu (13/1).
Twitter juga menangguhkan beberapa akun pengikut Trump, di antaranya mantan Tentara AS Letnan Michael Flynn, pengacara Sidney Powell, dan Ron Watkins yang merupakan tokoh kunci gerakan QAnon secara daring.
Setelah Trump tersingkir dari beberapa platform media sosial tersebut, pendukung politik sayap kanan berupaya menggunakan Parler sebagai media sosial alternatif. Namun, Google, Apple, dan Amazon memblokir aplikasi Parler karena digunakan oleh para penghasut kerusuhan di gedung Capitol.
Trump dikabarkan tak berhenti, dia berupaya memasuki akun resmi kepresidenan AS (POTUS), mengunggah video di akun resmi Rumah Putih, dan mengirimkan kampanye via sms dan email untuk menyebarkan klaim penipuan pemilu.
Trump juga memprotes pemblokiran yang dilakukan para raksasa teknologi dan menyebut mereka memecah belah bangsa. “Saya pikir big tech melakukan hal yang mengerikan bagi negara kita. Saya yakin itu akan menjadi kesalahan yang sangat besar bagi mereka. Mereka memecah belah dan memecah belah,” kata Trump kepada wartawan saat akan melakukan perjalanan ke Texas, dikutip dari Reuters, Rabu (13/1).
Eropa dan Inggris Khawatir atas ‘Kekuatan’ Raksasa Teknologi
Selain Trump, pejabat Uni Eropa dan Inggris mempertanyakan regulasi raksasa teknologi, setelah Twitter hingga Facebook memblokir akun presiden AS itu. Mereka menilai, perusahaan media sosial memiliki ‘kekuasaan’ untuk menentukan siapa yang tidak dan boleh bersuara.
Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock menilai, tindakan itu menunjukkan bahwa raksasa teknologi mengambil keputusan ‘editorial’. “Ini menimbulkan pertanyaan yang sangat besar tentang bagaimana media sosial seharusnya diatur,” kata dia kepada BBC dikutip dari CNBC Internasional, Senin lalu (11/1).
"Mereka dapat memilih siapa yang tidak dan boleh bersuara di platform," kata Hancock.
Komisaris Uni Eropa untuk pasar internal Thierry Breton mengatakan bahwa CEO raksasa teknologi dapat menghentikan ‘pengeras suara’ potus atau President of The United States tanpa adanya check and balances merupakan hal yang membingungkan.
“Ini tidak hanya menegaskan kekuatan platform, tetapi juga menunjukkan kelemahan yang mendalam terkait cara masyarakat kita diatur di ruang digital,” kata Thierry.
Di Inggris dan Eropa, penerbit seperti surat kabar, memiliki kebebasan tertentu tetapi tetap mengikuti Undang-undang (UU) dan kode etik. Oleh karena itu, mereka dapat dibawa ke pengadilan atau dipaksa untuk mengoreksi konten, jika mempublikasikan hal yang diskriminatif atau memfitnah.
Terkait media sosial, pada 2018, Uni Eropa menerapkan Peraturan Perlindungan Data Umum alias GDPR yang memberikan wewenang lebih besar kepada pengguna atas data mereka. Namun, dengan adanya pemblokiran akun Trump, Inggris dan Eropa mempertanyakan regulasi yang tepat bagi raksasa teknologi seperti Twitter dan Facebook.
Mereka menilai, para big tech ini bertindak sebagai penerbit. Saat ini, Inggris dan Eropa tengah mengkaji aturan baru terkait raksasa teknologi, dalam hal data dan antimonopoli.
"Hukum dan pengadilan Eropa akan terus menetapkan apa yang ilegal, baik offline maupun online, dari pornografi anak, konten teroris, ujaran kebencian, pemalsuan, hasutan, kekerasan hingga pencemaran nama baik, melalui proses demokrasi dan dengan pemeriksaan dan keseimbangan yang sesuai," ujar Thierry.
“Namun saat ini, platform online tidak memiliki kejelasan hukum tentang bagaimana mereka harus memperlakukan konten ilegal di jaringan. Ini membuat masyarakat kita memiliki terlalu banyak pertanyaan tentang kapan konten harus atau tidak boleh diblokir,” kata dia.
Uni Eropa pun meminta Joe Biden, yang mengambil alih pemerintahan AS pada minggu depan, untuk memperhatikan regulasi terkait media sosial. Hal ini karena cakupan raksasa teknologi bersifat global.
“Itulah mengapa Uni Eropa dan AS yang baru harus bergabung, sebagai sekutu dunia bebas, untuk memulai dialog konstruktif yang mengarah pada prinsip-prinsip yang koheren secara global,” kata Thierry.
Penyumbang bahan: Ivan Jonathan