Puluhan WNI dari Amerika hingga Qatar Gugat Presidential Threshold

Image title
3 Januari 2022, 17:26
presidential threshold
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan terhadap persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold terus bertambah di Mahkamah Konsitusi. Gugatan terbaru datang dari 27 Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di beberapa negara menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Para pemohon merupakan WNI yang tinggal di Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Belanda, Prancis, Swiss, Indonesia, Singapura, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Australia dan Qatar.

Mereka mendaftarkan permohonan secara online ke MK pada 31 Desember 2021 lalu dengan nomor perkara 01/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022. Berlaku sebagai kuasa hukum yakni Refly Harun & Partner yang bekerja sama dengan lembaga Denny Indrayana, Indrayana Centre for Government Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm.

Gugatan tersebut meminta hakim MK menghapuskan Pasal 222 UU Pemilu. Bunyi pasal tersebut yakni: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Dalam pokok permohonan, para pemohon menyebut Pasal 222 UU Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (2), dan Pasal 6A Ayat (5) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pemohon lantas menyebut Pasal 222 UU Pemilu telah melanggar ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, karena telah mengakibatkan Para Pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang dihasilkan partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu).

Selain itu, dalam dalilnya pemohon menyebut partai politik dalam mengusung pasangan calon capres-cawapres seringkali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak paslon dan lebih banyak mengakomodir kepentingan pemodal atau oligarki politik.

"Bahwa masalah yang terkait dengan presidential threshold ini bukanlah masalah yang biasa-biasa saja dan bisa dipandang ringan bagi kelangsungan bangsa Indonesia ke depan," tulis pemohon dalam dalilnya.

Meski permohonan uji materi presidential threshold telah berulang kali telah ditolak oleh MK, pemohon tetap mengajukan permohonan tersebut lantaran demi kepentingan masyarakat yang mendambakan hadirnya paslon yang amanah melalui proses pemilu yang jujur dan adil. "Sekarang tinggal terpulang kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk memutuskannya," tulis pemohon.

Sejak UU Pemilu 7 Tahun 2017 diundangkan, MK menerima  16 permohonan uji materi terhadap UU Pemilu. Dari 16 permohonan tersebut sebanyak 13 telah ditolak oleh MK, satu perkara masih dalam proses uji materi dan dua perkara baru diajukan.

Permohonan yang sedang diproses datang dari kader Gerindra yakni Ferry Joko Yuliantono. Gerindra melalui Sekretaris Jenderal Gerindra, Ahmad Muzani menegaskan gugatan Ferry ke MK tidak mewakili partai. Muzani mengatakan Gerindra tidak mempersoalkan berapapun angka ambang batas pencalonan presiden.

Permohonan lain datang dari dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fachrul Razi dan Bustami Zainudin, pada 10 Desember lalu. Dalam berkasnya mereka menyebut membiarkan presidential threshold terus dipraktikkan sama artinya membiarkan bangsa terjebak dalam cengkraman politik oligarki, politik percukongan yang dapat membahayakan eksistensi bangsa.

Kemudian,  mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengajukan permohonan pada 13 Desember lalu. Dalam permohonannya, Gatot mengutip pernyataan dari beberapa tokoh masyarakat seperti Ketua MK Periode 2003-2009 Jimly Asshiddiqie, Anggota DPR Periode 2019-2024 Fadli Zon, Ketua MK Periode 2013-2015 Hamdan Zoelva dan Wakil Ketua MPR Syarief Hasan.

Dalam dalilnya, Gatot mengatakan kondisi faktual Pemilu Presiden tahun 201 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan polarisasi politik yang kuat seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi.

Reporter: Nuhansa Mikrefin
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...