Selama masa pemerintahan Jokowi empat tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi berkutat di angka 5%. Salah satu pemicu stagnasi ekonomi ini adalah lesunya industri manufaktur, yang tumbuh di bawah rata-rata.
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
8 Maret 2019, 16.38

 

Tahun lalu mencatatkan sebuah prestasi: pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai level tertinggi dalam empat tahun terakhir atau selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, sejumlah motor penggerak ekonomi justru menggerus angka pertumbuhan, salah satunya neraca dagang yang defisit. Sedangkan sektor usaha utama penggerak ekonomi malah tumbuh melambat.

Pertumbuhan ekonomi pada 2018 sebesar 5,17%, lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 5,07% maupun selama dua tahun berturut-turut sebelumnya (2015-2016) yaitu 4,88% dan 5,03%. Meski begitu, pertumbuhan ekonomi tahun lalu masih di bawah target yang dicanangkan dalam APBN 2018 yakni 5,4%.

Dilihat dari sisi pengeluaran, konsumsi masih jadi penopang utama ekonomi Indonesia. Pengeluaran konsumsi rumah tangga (RT) pada 2018 mencapai Rp 8.269,8 triliun atau sebesar 55,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) menurut harga berlaku Rp 14.837,4 triliun.

Sedangkan ekspor barang dan jasa sebesar Rp 3.110,8 triliun, yang lebih rendah dibandingkan impor barang dan jasa Rp 3.272,5 triliun. Alhasil, perdagangan barang dan jasa pada 2018 minus atau defisit sehingga jadi komponen penekan PDB secara keseluruhan.

Defisit Barang dan Jasa

Defisit barang dan jasa sebagai faktor penekan ekonomi sebenarnya bukan terjadi pertama kali. Untuk kategori barang, setidaknya sejak 2012 Indonesia sudah menjadi net importir sejumlah barang yang menjadi hajat hidup orang banyak. Salah satunya adalah minyak. Ini diperparah oleh berakhirnya booming komoditas sehingga menekan nilai ekspor secara keseluruhan.

Besarnya kebutuhan minyak membuat negara ini harus membayar impor senilai US$ 29,8 miliar pada 2018, sedangkan nilai ekspor hanya US$ 17,4 miliar. Alhasil, neraca migas mencatatkan defisit US$ 12,4 miliar.

Di sisi lain, defisit perdagangan barang membengkak akibat menyusutnya surplus barang-barang non-migas. Anjloknya surplus ini ditengarai akibat melesatnya nilai impor yang tidak diimbangi oleh ekspor yang kuat.

Total impor non-migas meningkat 19,71% menjadi US$ 158,8 miliar, sedangkan ekspornya hanya tumbuh 6,25% menjadi US$ 162,6 miliar.

Sektor jasa juga mengalami defisit neraca dagang sebesar US$ 7,1 miliar. Merujuk data Bank Indonesia, impor jasa tercatat US$ 35,03 miliar sedangkan ekspor hanya membukukan nilai US$ 27,9 miliar.

Secara keseluruhan, kondisi tersebut tergambar pada neraca transaksi berjalan (current account). Current account menghimpun seluruh transaksi perdagangan luar negeri suatu negara yang meliputi ekspor dan impor barang dan jasa.

Transaksi berjalan pada 2018 mengalami defisit sebesar US$ 31,1 miliar atau sekitar Rp 450 triliun. Terhadap PDB, angka defisit tahun lalu itu sebesar 2,98%.

Secara nominal, defisit transaksi berjalan tahun 2018 merupakan yang terbesar dalam beberapa dekade terakhir. Sedangkan berdasarkan besaran rasio terhadap PDB, defisit transaksi berjalan 2018 merupakan yang terburuk selama empat tahun terakhir.

Struktur Ekonomi Tak Produktif

Mengapa defisit barang dan jasa terjadi menahun sehingga menekan ekonomi? Jika ditelisik mendalam, penyebabnya adalah struktur ekonomi Indonesia yang tidak cukup mewadahi sektor usaha penghasil barang untuk ekspor. Sektor lapangan usaha dalam ekonomi Indonesia dibagi menjadi 17 sektor, yang terdiri atas 3 sektor penghasil barang dan 14 sektor jasa.

Pada 2018, tiga sektor tersebut tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Pertumbuhan masing-masing sektor tersebut yakni Pertanian (3,91 %), Pertambangan (2,16%), dan Industri Pengolahan atau Manufaktur (4,27%). Padahal, ketiga sektor tersebut masih menjadi tulang punggung ekonomi dengan kontribusi sebesar 40,75%.

Sektor lain yang justru tumbuh cepat melebihi rata-rata adalah sektor jasa seperti telekomunikasi, transportasi dan sektor usaha lainnya. Bahkan, pertumbuhan sektor jasa ini mencapai dua kali lipat dari pertumbuhan sektor barang. Padahal sudah sejak lama Indonesia mengalami defisit di sektor jasa.

Secara umum, memang struktur pertumbuhan ekonomi saat ini tidak produktif dan tidak mendukung untuk peningkatan ekspor secara keseluruhan. “Sektor yang tumbuh cepat adalah sektor yang tidak menghasilkan barang (untuk diekspor),” kata Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri, seperti dikutip dalam Kontan TV.

Tren Penurunan Manufaktur

Bila dibedah lebih dalam dari ketiga sektor produktif tersebut, industri manufaktur memiliki peranan paling besar. Hingga 2018, kontribusi manufaktur mencapai 19,86% dan yang terbesar di antara 16 sektor lainnya.

Namun, jika melihat tren yang terjadi, kontribusi manufaktur dalam ekonomi Indonesia terus menurun. Bahkan, kontribusi di bawah 20% merupakan yang pertama kali terjadi tahun ini sejak 1990. Kontribusi terbesar yang pernah ditorehkan sektor manufaktur sebesar 31,9% pada tahun 2002.

Sejak saat itu, manufaktur hanya menyumbang rata-rata 20% terhadap PDB dan terus menurun sejalan dengan pertumbuhan sektor tersebut. Dengan kontribusi yang besar, pertumbuhan sektor manufaktur tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan keseluruhan.

Kondisi ini dimulai tahun 2005, manufaktur mengalami perlambatan dengan tumbuh 4,5% di saat ekonomi Indonesia masih bertumbuh 6,01%. Padahal, tahun sebelumnya manufaktur mampu tumbuh 6,38% di saat ekonomi tumbuh 5,03%. Sejak saat itu, tren pertumbuhan manufaktur di bawah rata-rata terus berlanjut hingga saat ini.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai Indonesia masuk fase deindustrialisasi prematur. “Dengan porsi industri di bawah 20% terhadap PDB, artinya struktur ekonomi semakin rapuh dan kurang produktif,” katanya, seperti dikutip dari Katadata.co.id.

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki porsi manufaktur yang relatif kecil dibandingkan negara-negara lain. Merujuk data Bank Dunia tahun 2017, Malaysia dan Thailand memiliki porsi lebih tinggi yakni masing-masing 22% dan 27% terhadap PDB. Indonesia masih lebih unggul dari Filipina dan Vietnam yang mencatatkan 19,6%  dan 15,3 %.

Perbaikan sektor industri manufaktur dapat menjadi prioritas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan porsi yang masih dominan, memacu sektor manufaktur diperkirakan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap ekonomi, di samping tetap menjaga daya beli pada sektor konsumsi.

Selain itu, pengembangan manufaktur sebagai komoditas ekspor dinilai menjadi salah satu solusi terhadap ketergantungan komoditas yang harganya berfluktuasi. Persoalannya, peningkatan sektor manufaktur tidak bisa dilakukan instan, masih dibutuhkan waktu panjang untuk memperbaiki secara mendasar struktur ekonomi Indonesia.

***


Editor: Nazmi Haddyat Tamara