Darmin: Penerimaan Negara, Persoalan Mendasar Ekonomi Tahun Ini

Yura Syahrul
1 Desember 2015, 19:38
Darmin Nasution
KATADATA | Arief Kamaludin

KATADATA - Perekonomian Indonesia tahun ini tidak hanya menghadapi tantangan perlambatan ekonomi global. Persoalan lebih mendasar yang dihadapi pemerintah adalah seretnya penerimaan negara, terutama penerimaan dari sektor perpajakan.

“Harus diakui sebagian persoalan dari luar. Tapi kita juga mengidap pelemahan, salah satunya penerimaan,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam acara Economic Outlook 2016 di Jakarta, Selasa (1/12). Menurutnya, ada fakta menarik yang luput dari perhatian banyak orang. Yaitu, sebagian besar penerimaan negara bersumber dari pajak perusahaan. “Hampir 90 persen.”

Padahal, di negara lain yang perekonomiannya sudah lebih mapan, mayoritas penerimaan pajak dari perorangan alias individu. Alhasil, ketika terjadi guncangan perekonomian, konsumsi masyarakat tidak banyak berubah sehingga penerimaan pajak tak ikut terganggu. Berbeda kalau penerimaan didominasi pajak perusahaan, ketika perekonomian melambat maka setoran pajak akan ikut menurun.

Darmin membandingkan kondisi yang terjadi tahun ini dengan tahun 2009. Penerimaan juga sempat terganggu karena krisis ekonomi yang mulai terjadi setahun sebelumnya. Bedanya, seretnya penerimaan negara tahun ini berdampak pada terganggunya pengeluaran pemerintah. Padahal, pengeluaran pemerintah diharapkan menjadi tumpuan dan motor penggerak pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Di tempat yang sama, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyoroti seretnya penerimaan pajak tahun ini. Ia menaksir, kekurangan pajak (shortfall) mencapai Rp 430 triliun atau sekitar 33 persen dari target penerimaan tahun ini Rp 1.294 triliun. “Terbuka (terus terang) saja, tidak mungkin selama Desember bisa (bertambah penerimaan pajak) Rp 400 triliun. Artinya kurang pajak,” katanya.

Konsekuensinya adalah pemerintah menggenjot penerimaan pajak dengan berbagai cara atau memangkas belanja negara. Yang paling mungkin dilakukan, menurut Kalla adalah mengurangi belanja, seperti pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur. “Kesulitannya adalah, yang bisa dikurangi sebagian anggaran pembangunan karena tidak mungkin (memotong) gaji (pegawai),” imbuhnya.

Di sisi lain, Kalla mendukung penerapan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) untuk menambah penerimaan pajak. Sebab, dia meyakini masih banyak dana wajib pajak yang diparkir di luar negeri. Dengan adanya kebijakan yang rancangan undang-undangnya tengah digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut, dana itu bisa disimpan di dalam negeri, baik dalam bentuk surat utang ataupun instrumen keuangan lainnya. Lalu, dananya bisa dipakai untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur.

Namun, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah tidak berencana memotong belanja infrastruktur. Alasannya, meski penerimaan negara seret, penyerapan belanja negara juga diprediksi tidak sampai 100 persen. Ia memperkirakan, penyerapan belanja pemerintah tahun ini sekitar 92 persen. Dengan begitu, bisa mengurangi defisit anggaran. “Tidak ada yang mau dikurangi. Pokoknya defisit anggaran kami jaga 2,5 persen sampai 2,7 persen,” tukasnya.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani juga mengaku belum berencana memotong belanja infrastruktur meski penerimaan negara meleset dari target. Sejauh ini, Kementerian Keuangan telah memotong belanja yang tidak produktif, seperti rapat-rapat di kementerian dan lembaga negara.

Sekadar informasi, Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pranudito mencatat penerimaan pajak per 4 November lalu mencapai Rp 774,4 triliun atau 59,8 persen dari total target penerimaan pajak tahun ini. Artinya, selisih antara realisasi dengan target (shortfall) penerimaan pajak mencapai Rp 155 triliun. Alhasil, penerimaan negara hanya 63 persen dari pagu Rp 1.761,6 triliun. Sedangkan belanja pemerintah hingga 5 November 2015 mencapai 71 persen dari pagu Rp 1.984,1 triliun. Artinya, defisit anggaran mencapai Rp 298,9 triliun atau 2,55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Namun, pekan lalu, Bambang Brodjonegoro memprediksi defisit anggaran tahun ini mencapai 2,7 persen dari PDB. Hal ini didasarkan kepada angka penerimaan pajak yang hanya terealisasi 85 persen dari total target sebesar Rp 1.294 triliun.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Desy Setyowati

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...