Pemerintah Tawarkan Skema Baru Bagi Hasil Blok East Natuna
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menawarkan opsi perubahan skema bagi hasil Blok East Natuna. Tujuannya agar kontraktor semakin tertarik untuk mengembangkan blok tersebut sehingga cepat berproduksi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, nantinya kontraktor blok migas di Laut Natuna itu bisa menggunakan skema bagi hasil sliding scale. Ini adalah konsep bagi hasil yang progresif berdasarkan akumulasi jumlah produksi. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi)
Jadi, dengan skema sliding scale yang produksinya semakin besar maka bagi hasil yang didapat negara ikut bertambah. Begitu juga sebaliknya. "Ini sedang dibahas semua opsinya," kata Wiratmaja di sela-sela acara halal bi halal dengan direksi PT Pertamina (Persero) di Jakarta, Selasa (12/7).
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan beberapa insentif. Pertama, insentif keringanan pajak atau tax holiday selama lima tahun. Kedua, jangka waktu kontrak yang lebih lama, yakni hingga 50 tahun.
Ketiga, bagi hasil yang lebih besar untuk kontraktor. Skenario terburuknya adalah 100 persen bagi hasil blok tersebut menjadi milik kontraktor. Itupun bagi hasil sebelum dikurangi dengan pajak.
Insentif tersebut diharapkan dapat mempercepat penandatangan kontrak bagi hasil dan produksi Blok East Natuna. “Estimasinya saya belum bisa bilang. Semoga bisa berproduksi sebelum tahun 2030,” ujar Wiratmaja.
Ia menilai, Blok East Natuna layak dikembangkan karena letaknya sangat strategis. Blok ini memang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, yang sedang menjadi sengketa beberapa negara. (Baca: Perpanjangan Blok Natuna, di Antara Kepentingan Amerika dan Cina)
Selain itu cadangan yang ada sangat besar. Volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf.
Di sisi lain, Blok East Natuna memiliki kadar karbon dioksida (CO2) mencapai 72 persen yang bisa berdampak pada lingkungan atau pipa. Jadi, CO2 tersebut harus dipisahkan dengan diinjeksi kembali ke perut bumi.
Menurut Wiratmaja, teknologi yang bisa memisahkan dan menginjeksi CO2 dari gas sudah ada. Namun, biayanya terbilang cukup tinggi. "Kami bahas nanti keekonomiannya, kalau tidak ekonomis apa yang kami lakukan," ujar dia. (Baca: Pemerintah Siapkan Teknologi Khusus Pengembangan Blok East Natuna)
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan, perubahan skema bagi hasil Blok East Natuna perlu dibicarakan lebih lanjut dengan pemerintah. Ia berharap, besaran bagi hasil untuk kontraktor bisa lebih baik. "Kami siapkan usulan porsi yang ekonomis," ujar dia beberapa waktu lalu.
Dwi juga menargetkan, Pertamina bisa mengajukan kontrak PSC untuk pengembangan Blok East Natuna pada tahun ini. Dengan begitu, dia berharap penandatanganan PSC bisa dilakukan pada tahun depan.