Menteri ESDM Tak Beri Insentif Khusus Blok Migas di Natuna
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak akan memberikan insentif khusus untuk blok minyak dan gas bumi (migas) yang berada di Laut Natuna. Kalaupun nanti ada insentif yang bakal diberikan, itu juga berlaku untuk seluruh blok migas di Indonesia.
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, saat ini kementeriannya memang sedang mencari skenario yang memungkinkan percepatan pengembangan kawasan Natuna. Salah satunya adalah menata aturan-aturan di sektor migas. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi)
Aturan yang ada saat ini akan ditata agar bisa menggairahkan sektor hulu migas secara keseluruhan. “Jadi tidak bisa spesifik (insentif) berlaku bagi blok-blok yang ada di Natuna,” kata dia di Jakarta, Jumat (15/7) lalu.
Menurut Sudirman, harga minyak yang rendah saat ini memang tidak terlalu menggembirakan bagi para pelaku industri hulu migas. Tapi, kondisi tersebut tidak boleh menurunkan kegiatan migas yang ada di kawasan Natuna.
Hal ini sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo. Yaitu menumbuhkan kegiatan dan perekonomian di kawasan Natuna, baik di sektor migas, maupun perikanan.
Sudirman menyatakan, jika kegiatan pembangunan sektor migas di kawasan Natuna semakin banyak maka itu dapat menjadi simbol kehadiran Indonesia di daerah perbatasan tersebut. Apalagi, kawasan Natuna ini berdekatan dengan Laut Cina Selatan yang saat ini menjadi wilayah sengketa sejumlah negara.
Untuk menindaklanjuti keinginan Presiden tersebut, Kementerian ESDM dan SKK Migas bahkan sudah mengadakan rapat koordinasi, Kamis (14/7) lalu. Rapat itu membahas upaya mendorong blok-blok yang telah eksplorasi agar secepatnya berproduksi. Sedangkan blok yang sudah berproduksi mesti dijaga kelangsungannya.
“Masih mengkaji ulang situasi dan tidak ada hal fundamental yang menjadi keputusan baru,” ujar dia. (Baca: Kementerian ESDM Percepat Kembangkan 10 Blok Migas di Natuna)
Saat ini ada juga tujuh blok yang sudah masuk dalam eksploitasi. Tujuh blok tersebut yakni Cakalang yang dioperatori Lundin Cakalang B.V, Kakap yang dioperatori Star Energi (Kakap Ltd), Natuna Sea Block “A” dengan operator Premier Oil Natuna Sea B.V, Northwest Natuna oleh Santos Netherlands B.V, Sembilang oleh PT Mandiri Panca Usaha, Sout Natuna Sea Block B oleh ConocoPhillips Inc, dan Udang Block oleh Pertamina EP.
Total produksi dari blok tersebut yakni untuk gas 489,21 juta kaki kubik (mmscfd), sementara minyak dan kondensat 25.447 barel per hari. Adapun total cadangan gasnya 4 tcf, untuk minyak dan kondensat mencapai 201.401 mmstb.
Di sisi lain, ada 10 blok migas yang statusnya masih eksplorasi. Bahkan, Blok East Natuna belum memiliki kontrak bagi hasil. Yang ada hanya konsorsium yang dipimpin oleh Pertamina dan mitra lainnya yakni ExxonMobil dan PTT Thailand.
Blok ini belum memiliki kontrak, karena dianggap belum ekonomis untuk dikembangkan. Penyebabnya kandungan karbondioksida (CO2) yang ada di sana sangat tinggi mencapai 72 persen. Padahal volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf.
Agar bisa komersial CO2 tersebut harus dipisahkan menggunakan teknologi yang sangat mahal. Pemerintah akhirnya menawarkan skema bagi hasil sliding scale kepada calon pengelola Blok East Natuna. (Baca: Pemerintah Tawarkan Skema Baru Bagi Hasil Blok East Natuna)
Sliding Scale adalah konsep bagi hasil yang progresif berdasarkan akumulasi jumlah produksi. Jadi, dengan skema ini jika produksinya semakin besar maka bagi hasil yang didapat negara ikut bertambah. Begitu juga sebaliknya.