Swap dan Ekspor–Impor LNG Bagian dari Strategi Portofolio
Bulan lalu, masyarakat sempat dihebohkan oleh kabar rencana impor gas alam cair (LNG) dari Singapura. Kabar ini dipicu oleh kerja sama swap (tukar guling) gas antara Keppel Ltd. dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Bagi penulis, kerja sama itu adalah hal yang lumrah. Keppel yang memiliki akses fasilitas penyimpanan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dan portofolio akan memasok kebutuhan PLN di sekitar Kepulauan Riau.
Portofolio kontrak global serta ketersediaan fasilitas penyimpanan dan terminal di Singapura, membuat negara tersebut potensial menjadi salah satu hub/perlintasan LNG di masa depan. Sebaliknya, PLN yang telah mengikat kontrak pembelian LNG dari lapangan Tangguh di Papua yang bersifat multidestinasi, akan dapat memasok gas ke Keppel di masa depan.
Adanya jeda waktu dan jumlah serta besaran kebutuhan LNG, membuat pertukaran dan model sejenisnya merupakan kesepakatan business to business biasa.
Sebagian pengamat memang menggugat: Kenapa tidak dimanfaatkan dan dioptimalkan saja fasilitas regasifikasi LNG di dalam negeri seperti fasilitas di Arun dan Nusantara Regas Muara Karang? Jangan lupa, PLN juga korporasi seperti halnya PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), yang menjalankan usahanya melalui perhitungan-perhitungan dan kepentingan bisnis.
Perhitungan biaya sewa regasifikasi dan transportasi serta melimpahnya sumber pasokan energi primer PLN saat ini menjadi pertimbangan rasionalnya dalam memilih mitra dan model bisnis swap tersebut.
LNG adalah gas alam yang telah diproses untuk menghilangkan pengotor (impuritas) dan hidrokarbon fraksi berat, kemudian dikondensasi menjadi cairan pada tekanan atmosfer dengan mendinginkannya sekitar -160° Celcius. Pencairan tersebut memadatkan gas alam hingga 600 kali, sehingga efisien dari segi transportasi.
Ada kebutuhan tambahan investasi untuk proses pencairan gas alam itu di kilang LNG, penyimpanan dengan dinding isolator kriogenik kedap, pengapalan dengan tanker kargo khusus, terminal regasifikasi di tempat pembeli, hingga kepastian penyerapan yang tinggi.
Untuk mengakomodir semua risiko itu, struktur kontrak komersialnya didesain secara kaku. Skema kontraknya antara lain, bersifat jangka panjang (15 – 20 tahun) , volume besar, harga dipatok di awal, serta risiko kegagalan mengambil lebih berat ke pembeli (take-or-pay).
Seluruh mata rantai (value chain) saling terkait (back-to-back), mulai dari produsen gas – kilang – transportasi – terminal regasifikasi – pengguna akhir. Pada umumnya, penjual LNG adalah produser, dan pembelinya adalah pengguna akhir atau yang sudah mengikat kontrak dengan pembeli akhir (end-user).
Tabel di bawah ini menunjukkan pasar LNG pada awal pengembangannya ( tahun 1970-an).
Negara | Proyek | Tahun | Volume Kontrak | Pemilik/Kontraktor |
Aljazair | Arzew GL 4z T1-3 | 1964 | 1,1 | Sonatrach |
USA | Alaska | 1969 | 1,3 | Marathon, ConocoPhillips |
Libya | Marsa El Brega | 1970 | 0,8 | Sirte |
Aljazair | Skikda | 1972 | 3,0 | Sonatrach |
Brunei | Brunei LNG | 1972 | 7,0 | Pemerintah, Shell, Mitsubishi |
UEA | ADGAS | 1977 | 3,2 | ADNOC,Mitsui,BP,Total |
Indonesia | Bontang T 1/2 | 1977 | 3,3 | Pertamina |
Indonesia | Arun T 1 - 3 | 1978 | 5,1 | Pertamina |
Algeria | Arzew GL 1Z T 1-6 | 1978 | 7,8 | Sonatrach |
Total | 32,6 |
Catatan: *juta ton per tahun Sumber : BritCham 2014
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.