Pemeriksaan Pajak, Pengertian, Tujuan, dan Hak Penolakannya
Saat menghadiri agenda bertajuk 'Tiga Bacapres Bicara Gagasan' yang digelar Mata Najwa di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM), Bakal calon presiden Anies Baswedan mengungkapkan, para pemodal besar enggan memberikan bantuan dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024 karena takut mendapatkan intimidasi dari alat negara.
Salah satu intimidasi dari alat negara yang dicontohkan Anies, adalah pemeriksaan pajak yang dialami oleh pemodal besar untuk membantu di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ia menjelaskan, usai membantu, pemodal tersebut mengalami pemeriksaan pajak oleh pemerintah yang selama jarang dialami.
Terkait dengan hal tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo membantah tudingan Anies soal adanya pemeriksaan pajak dilakukan dengan motif politis.
"Informasi yang Bapak terima perlu diperjelas dan tudingan ada penggunaan alat negara untuk kepentingan politis tertentu dipastikan tidak benar. Kemenkeu dan DJP senantiasa berkomitmen menjaga integritas dan akan menindak tegas semua pelanggaran yang dilakukan pegawai," ujar Prastowo dalam akun resmi X miliknya, dikutip Rabu (20/9).
Nah, apa sebenarnya pemeriksaan pajak itu, dan apa dasar hukum pelaksanaannya, serta apakah wajib pajak berhak menolaknya? Simak ulasan berikut ini.
Pengertian Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan. Tujuannya adalah, untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain.
Ketentuan mengenai pemeriksaan pajak telah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana mengalami beberapa kali perubahan hingga terakhir diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Adapun, aturan turunan perihal pemeriksaan pajak termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Aturan ini telah diubah dengan PMK 184/PMK.03/2015. Lalu, PMK Nomor 184/PMK.03/2015 ini diubah dengan PMK 18/PMK.03/2021 yang merupakan aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, pemeriksaan pajak dapat dibagi menjadi dua, antara lain:
1. Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan pajak dapat dilakukan di tempat kediaman, tempat bisnis, serta tempat di mana wajib pajak bekerja, atau mungkin tempat lain yang telah ditetapkan oleh DJP.
Tujuannya, untuk menguji pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam waktu paling lama enam bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada wajib pajak sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) disampaikan.
2. Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan pajak dilakukan di kantor DJP, yang dilaksanakan dalam waktu paling lama empat bulan dihitung sejak tanggal wajib pajak memenuhi surat panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor.
Tujuan Pemeriksaan Pajak
Secara umum, pemeriksaan pajak dapat dilakukan untuk menguji kepatuhan wajib pajak, dan untuk tujuan lain di luar konteks kepatuhan. Terkait dengan konteks kepatuhan, pemeriksaan pajak dilakukan atas sembilan aktivitas sebagai berikut:
- Pemeriksaan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi).
- Pemeriksaan karena terdapat keterangan lain berupa data konkret terkait pajak yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana yang diatur di dalam UU KUP Pasal 13 ayat (1) huruf a.
- Pemeriksaan atas permohonan lebih bayar pajak (selain poin 1).
- Pemeriksaan terhadap wajib pajak yang telah menerima restitusi pendahuluan.
- Pemeriksaan atas wajib pajak yang mencatatkan rugi Fiskal di dalam Surat Pemberitahuan (SPT).
- Pemeriksaan terhadap WP yang melakukan aksi korporasi seperti penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
- Pemeriksaan terhadap WP yang mengubah tahun buku, mengubah metode pembukuan atau melakukan penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi asset).
- Pemeriksaan terhadap WP berdasarkan analisis risiko, karena tidak menyampaikan SPT atau penyampaian SPT melampaui jangka waktu, sebagaimana ditetapkan dalam surat teguran.
- Pemeriksaan atas SPT yang disampaikan WP yang terpilih berdasarkan analisis risiko.
Sementara, pemeriksaan yang dilakukan untuk tujuan di luar konteks kepatuhan dilakukan untuk 11 aktivitas, antara lain:
- Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan.
- Penghapusan NPWP.
- Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
- Pengajuan keberatan oleh wajib pajak.
- Pengumpulan bahan Penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
- Pencocokan data dan/atau alat keterangan.
- Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
- Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
- Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.
- Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan.
- Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Mengutip laman resmi DJP, pemeriksaan pajak dimulai dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau pengiriman surat panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor. Dalam hal khusus, misalnya kondisi pandemi, pemeriksaan dapat dilakukan secara daring.
Hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) yang dilampiri dengan daftar temuan hasil pemeriksaan dengan mencantumkan dasar hukum atas temuan tersebut.
Pemeriksaan dalam pengujian kepatuhan Wajib Pajak diakhiri dengan pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan produk hukum yang dapat berupa:
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
- Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Pemeriksaan untuk tujuan lain ditutup dengan diterbitkannya LHP yang berisi usulan diterima atau ditolaknya permohonan WP.
Hak Menolak Pemeriksaan Pajak
Pada praktiknya, wajib pajak dapat tidak setuju adanya pemeriksaan yang dilakukan otoritas pajak. Alasannya bisa beragam, mulai dari wajib pajak merasa telah memenuhi kewajibannya dengan benar, hingga alasan beban administrasi karena panjangnya proses pemeriksaan yang harus dijalankan.
Merujuk Pasal 36 dan 37 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.03/2013, wajib pajak dapat menolak adanya pemeriksaan pajak. Namun, penolakan atas upaya pemeriksaan ini, harus dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
1. Penolakan Pemeriksaan Lapangan
Mengutip ddtc.co.id, pada pemeriksaan lapangan, jika wajib pajak menyatakan menolak untuk dilakukan pemeriksaan, termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, wajib pajak tersebut harus menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan.
Apabila wajib pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, pemeriksa pajak akan membuat berita acara penolakan pemeriksaan yang ditandatangani tim pemeriksa pajak.
Namun, apabila wajib pajak yang menjadi tujuan pemeriksaan tidak berada di tempat, maka ada dua konsekuensi yang menanti. Pertama, pemeriksaan tetap dapat dilakukan sepanjang terdapat pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk mewakili wajib pajak, terbatas untuk hal yang berada dalam kewenangannya.
Kedua, pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya. Untuk keperluan pengamanan pemeriksaan, sebelum dilakukan penundaan, pemeriksa pajak dapat melakukan penyegelan.
Pemeriksa pajak juga dapat meminta bantuan pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa untuk membantu kelancaran pemeriksaan, apabila setelah penyegelan, wajib pajak tetap tidak berada di tempat atau tetap tidak mau memberikan bantuan untuk melancarkan pemeriksaan.
Jika pegawai atau anggota keluarga dari wajib pajak tersebut juga menolak membantu kelancaran pemeriksaan, pemeriksa pajak akan meminta pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak, untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran pemeriksaan.
Apabila pegawai atau anggota keluarga dari wajib pajak yang menjadi subjek pemeriksaan menolak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran pemeriksaan tersebut, pemeriksa pajak akan membuat berita acara penolakan membantu kelancaran pemeriksaan yang ditandatangani tim pemeriksa pajak.
2. Penolakan Pemeriksaan Kantor
Jika wajib pajak yang menjadi tujuan pemeriksaan pajak menyatakan menolak untuk dilakukan pemeriksaan kantor, maka wajib pajak yang bersangkutan harus menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan.
Jika wajib pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, pemeriksa pajak juga akan membuat berita acara penolakan pemeriksaan yang ditandatangani tim pemeriksa pajak.
Apabila dalam jangka waktu paling lama satu bulan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor tidak dikembalikan dan wajib pajak tidak memenuhi panggilan pemeriksaan kantor, pemeriksa pajak membuat berita acara tidak dipenuhinya panggilan pemeriksaan oleh wajib pajak yang ditandatangani tim pemeriksa pajak.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 38 PMK No. 17/PMK.03/2013, pemeriksa pajak dapat melakukan penetapan pajak secara jabatan atau mengusulkan pemeriksaan bukti permulaan.
Ini dilakukan, berdasarkan pada surat pernyataan penolakan pemeriksaan, berita acara penolakan pemeriksaan, berita acara tidak dipenuhinya panggilan pemeriksaan, surat penolakan membantu kelancaran pemeriksaan, atau berita acara penolakan membantu kelancaran pemeriksaan.
Dapat disimpulkan, bahwa wajib pajak dapat mengajukan penolakan terhadap adanya pemeriksaan pajak. Namun, patut diingat bahwa penolakan ini tidak serta-merta menghentikan proses pemeriksaan.
Sebab, otoritas pajak memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak terutang secara jabatan, atau mengusulkan dilakukannya pemeriksaan bukti permulaan.