Pemulihan Ekonomi "Tersandera" Dana Jumbo Daerah yang Parkir di Bank?
Presiden Joko Widodo berkali-kali mengingatkan pemerintah daerah untuk mempercepat belanja demi mengungkit perekonomian yang tengah lesu akibat pandemi Covid-19. Namun realisasi belanja daerah hingga September 2020 masih lambat. Anggaran daerah yang mengendap di perbankan hingga akhir bulan lalu sebesar Rp 239,5 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dana tersebut lebih tinggi Rp 12,4 triliun dibandingkan Agustus tetapi lebih rendah dibandingkan September 2019 sebesar Rp 245,9 triliun.
"Kami tidak ingin transfer daerah hanya berakhir di perbankan. Ini diharapkan dapat terkejar pada kuartal IV sehingga membantu pemulihan ekonomi," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (19/10).
Sri Mulyani menjelaskan, dana transfer daerah hingga September mencapai Rp 572 triliun atau 82,6% dari pagu yang ditetapkan pemerintah. Dana perimbangan terealisasi 82,7% dari target atau mencapai Rp 391,3 triliun, dana insentif daerah mencapai Rp 16 triliun atai 86,6% dari target, dan dana otsus serta keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai Rp 15,7 triliun atau 75,3% pagu.
Lebih terperinci dari komponen dana perimbangan, pemerintah telah mencairkan dana transfer umum Rp 391,3 triliun, terdiri dana bagi hasil atau DBH Rp 70 triliun dan dana alokasi umum alias DAU Rp 321,3 triliun.
"Dana transfer umum ini turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu karena kami memang menurunkan target sehingga DAU dan DBH juga harus menghadapi tekanan," katanya.
Kemudian, dana transfer khusus mencapai Rp 149 triliun atau 81,6%. Pos anggaran yang juga bagian dari dana perimbangan ini naik 27,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Perinciannya, realisasi dana alokasi khusus fisik mencapai Rp 49,4 triliun dan dana alokasi nonfisik mencapai Rp 99 triliun.
"Dana transfer fisik ini meningkat dibandingkan tahun lalu. Ini upaya pemerintah untuk membantu daerah menggairahkan ekonomi walaupun tengah menghadapi tekanan fiskal," katanya.
Ia telah berupaya mempercepat penyaluran anggaran transfer daerah sehingga diharapkan mampu mengungkit ekonomi daerah. Namun, realisasi belanja daerah masih jauh dari harapan dan lebih rendah dari capaian pemerintah pusat.
Belanja Daerah Masih Lambat
Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah hingga September mencapai Rp 575,45 triliun atau 53,3% terhadap pagu. Realisasi belanja tersebut hanya naik tipis dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 53,1% terhadap pagu, tetapi turun secara nominal dari Rp 659,3 triliun. Ini karena pagu APBD pada tahun ini memang turun dari Rp 1.242,3 triliun pada tahun lalu menjadi Rp 1.080,71 triliun.
"Dibandingkan belanja pemerintah pusat yang tumbuh hingga 20%, belanja daerah masih sangat tertahan," kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, realisasi pendapatan daerah sepanjang tiga kuartal pertama tahun ini mencapai Rp 722,19 triliun atau 68,2% terhadap pagu. Realisasi tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 68% tetapi lebih rendah secara nominal. Target pendapatan daerah pada tahun ini turun dairi Rp 1.192,63 triliun menjadi Rp 1.059,43 triliun.
"Belanja daerah juga tertahan sebagian karena penerimaan asli daerah mereka turun, tetapi kami berharap program-program daerah untuk penanganan Covid-19 tetap terlaksana," katanya.
Lambatnya realisasi belanja daerah merupakan masalah klasik bagi Indonesia. Anggaran belanja daerah biasanya baru digenjot pada kuartal terakhir.
Berdasarkan Laporan Nusantara edisi Februari 2020 yang dirilis Bank Indonesia, rata-rata realisasi APBD pada akhir 2019 untuk wilayah Sumatera mencapai 92,2%, Jawa 94%, Kalimantan 89,61%, Bali dan Nusa Tenggara 96,6%, serta wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua sebesar 93,45%.
Padahal pada kuartal III 2019, realisasi APBD baru mencapai 51,4% untuk Sumatera, 48% untuk Jawa, 73,39% untuk Kalimantan, 74% untuk Bali dan Nusa Tenggara, serta 50,4% untuk Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Jokowi telah berkali-kali mengingatkan jajarannya, termasuk para kepala daerah, untuk mempercepat belanja agar ekonomi Indonesia mampu kembali ke zona positif.
Di Istana Negara awal bulan lalu, ia meminta para kepala daerah untuk mempercepat belanja. Saat itu, menurut Jokowi, masih ada harapan untuk selamat dari resesi ekonomi dengan mendorong belanja.
"Kita masih punya waktu satu bulan. Masih ada kesempatan pada September ini. Kalau pertumbuhan ekonomi masih pada posisi minus, kita masuk resesi," kata Jokowi dalam Rapat Terbatas mengenai Pengarahan Presiden kepada Para Gubernur Menghadapi Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (1/9).
Namun, harapan Jokowi tak tercapai. Belanja daerah seret dan ekonomi pada kuartal III sudah hampir pasti resesi. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga minus 2,9% hingga minus 1%. Ekonomi keseluruhan tahun ini juga diramal negatif 1,7% hingga negatif 0,6%.
Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah menjelaskan perekonomian nasional terbentuk oleh perekonomian daerah. Sementara perekonomian daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pembangunan yang dibiayai oleh proyek-proyek APBN tetapi juga APBD.
"Karena itu sangat disayangkan kalau realisasi APBD rendah dan dana mengendap di bank. Meskipun mengalami pandemi seharusnya pusat dan daerah tetap mengupayakan agar beberapa program strategis berjalan," ujarnya.
Piter masih berharap dana daerah yang masih mengendap di perbankan dapat direalisasi di kuartal empat sehingga dapat membantu perekonomian daerah. Meski demikian, menurut dia, realisasi anggaran daerah hanya dapat menahan kontraksi ekonomi agar tidak terlalu dalam pada kuartal IV.
"Meskipun realisasi anggaran mencapai 100%, tetapi selama pandemi masih menjangkit, pertumbuhan ekonomi belum akan positif," kata Piter.
Covid-19 menekan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah terutama pada kuartal kedua 2020 akibat penurunan permintaan domestik. Kontraksi ekonomi terjadi pada seluruh daerah, kecuali Papua dan Papua Barat. Pulau Jawa menjadi wilayah yang terkontraksi paling dalam.
Namun, BI dalam Laporan Nusantara edisi Agustus memperkirakan pemulihan ekonomi di seluruh daerah akan mulai terjadi pada kuartal III 2020. Perkembangan indikator pada Juli menunjukkan peningkatan aktivitas ekonomi sejalan dengan pelonggaran PSBB di berbagai daerah.
Hal ini terindikasi dari kenaikan indikator dini seperti mobilitas masyarakat, penjualan eceran dan online, keyakinan konsumen, serta ekspektasi kegiatan usaha. Adapun perbaikan diperkirakan terutama diperkirakan terjadi pada lapangan usaha perdagangan, dan kontruksi.
Sementara sektor pertanian yang menjadi penahan perlambatan pada kuartal II diperkirakan melambat pada kuartal III seiring periode panen raya yang berakhir di Sumatera dan Jawa.
Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astrea Primanto menyebut pemerintah daerah kini sudah mulai bersiap untuk merealisasikan anggaran. Hal ini terlihat dari simpanan pemda di perbankan yang kini didominasi dalam bentuk giro.
"Komposisinya giro meningkat dibandingkan sebelumnya, sehingga terlihat bahwa daerah sudah mempersiapkan diri untuk mulai melakukan pencairan," katanya.