Tutup 24 Kantor Pajak, Ini Strategi Sri Mulyani Genjot Penerimaan
Direktorat Jenderal Pajak menghentikan operasional 24 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama. Ini merupakan bagian dari reorganisasi yang menjadi salah satu strategi Ditjen pajak agar birokrasi dan pelayanan pajak dapat berjalan efisien dan efektif.
"Penataan ini untuk mendukung rencana strategis Kementerian Keuangan 2020-2024, yaitu penerimaan negara yang optimal," demikian tertulis dalam siaran pers di laman Direktorat Jenderal Pajak, Senin (24/5).
Meski menutup 24 KPP Pratama, Ditjen Pajak menambah 18 Kantor Pelayanan Pajak Madya baru. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, total kini terdapat 38 KPP Madya yang akan bertanggung jawab terhadap 33,79% penerimaan pajak. Kenaikan kontribusi KPP Madya tersebut cukup signifikan mengingat sebelumnya 20 KPP Madya yang ada hanya berperan 19,53% terhadap pemasukan pajak.
"Dengan tambahan 33,79% ini, kinerja KPP Madya akan sangat menentukan keseluruhan penerimaan pajak kita," ujar Sri Mulyani dalam Peresmian Organisasi dan Tata Kerja Baru Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Senin (24/5).
Penambahan kantor pajak ini, menurut dia, merupakan bagian dari reformasi perpajakan. Dengan demikian, pelayanan pajak diharapkan lebih baik dan terintegrasi.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, 18 KPP Madya baru tersebut meliputi tiga kantor di luar Pulau Jawa dan 15 di Pulau Jawa. Penambahan jumlah KPP Madya diiringi dengan perubahan komposisi wajib pajak yang terdaftar pada KPP Madya.
"Perubahan komposisi tersebut yakni dari sebelumnya 1.000 wajib pajak per KPP Madya menjadi 2.000 wajib pajak per kantor, atau paling banyak 4.000 wajib pajak dalam satu kantor wilayah yang memiliki dua KPP Madya," kata Suryo dalam kesempatan yang sama.
KPP Madya baru ini merupakan konversi dari 18 KPP Pratama yang dihentikan operasionalnya. Dengan adanya reorganisasi ini, KPP Pratama yang tersisa diarahkan untuk lebih fokus pada penguasaan wilayah mencakup penguasaan informasi, pendataan, dan pemetaan subjek dan objek pajak melalui produksi data, pengawasan formal dan material SPT Masa, dan SPT Tahunan.
Selanjutnya, KPP Madya bersama dengan KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Khusus akan fokus pada pengawasan terhadap wajib pajak strategis penentu penerimaan. Dengan demikian, diharapkan 80%-85% dari total target penerimaan pajak secara nasional dapat diamankan.
Tahun lalu, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.069,98 triliun. Jumlah tersebut hanya mencapai 89,25% dari target penerimaan pajak yang sebesar Rp 1.198,82 triliun. Realisasi pajak secara perinci dapat dilihat dalam databoks di bawah ini.
Dalam rangka reorganisasi, dilakukan pula perubahan struktur organisasi pada KPP dengan memperkaya cakupan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh setiap seksi. Selain itu, stratifikasi KPP Pratama dirubah di mana potensi perpajakan menjadi salah satu dasar dalam menentukan jumlah seksi pengawasan.
KPP Pratama Kelompok I memiliki enam seksi pengawasan, sedangkan KPP Pratama Kelompok II memiliki lima seksi pengawasan. Pembaruan organisasi instansi vertikal ini berdampak untuk sebagian wajib pajak yakni wajib pajak yang kantor pajaknya mengalami penataan seperti terdapat 1 Kanwil, 11 KPP, dan 3 Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang mengalami perubahan nomenklatur (nama) kantor.
Kemudian, terdapat 27 KPP dan 1 KP2KP yang mengalami penyesuaian wilayah kerja. Hal ini dilaksanakan guna menyelaraskan beban kerja, menyesuaikan wilayah kerja, serta konsekuensi dari pembentukan KPP Madya baru.
Wajib pajak yang terdampak reorganisasi instansi vertikal telah mendapatkan pemberitahuan dari KPP terdaftar yang lama. Mulai 24 Mei 2021, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dapat dilaksanakan di KPP terdaftar yang baru.
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menilai kekhawatiran mengenai utang yang berlebihan dapat diatasi dengan reformasi fiskal untuk memperluas basis pajak, meningkatkan administrasi dan kepatuhan pajak, serta menutup celah-celah perpajakan. Indonesia juga dinilai perlu mendorong pemulihan yang ramah lingkungan akan melindungi lingkungan dan mendukung pertumbuhan ekonomi, serta membuka lapangan kerja.
Direktur ADB untuk Indonesia Winfried Wicklein mengatakan, Indonesia baru akan kembali ke jalur pertumbuhannya, yakni 5% pada tahun depan. "Perkiraan tersebut seiring dengan pulihnya perdagangan secara berkelanjutan, kebangkitan sektor manufaktur, dan anggaran pemulihan ekonomi nasional yang besar untuk 2021,” kata Wicklein dalam siaran pers pada akhir April 2021.