Malaysia Hingga AS Berlomba Kerek Batas Utang, Bagaimana dengan RI?
Malaysia, Thailand, hingga Amerika Serikat tengah berupaya menaikkan batas maksimal atau pagu utang akibat kebutuhan penanganan pandemi yang membengkak. AS bahkan menghadapi risiko gagal bayar dan shutdown atau penghentian sementara operasional pemerintah jika tak mengantongi kesepakatan dari legislator untuk menaikkan pagu utangnya.
Utang AS saat ini sudah mencapai US$ 28,78 triliun atau sekitar Rp 400 ribu triliun. Jumlah ini telah melewati batas atas pinjaman dalam undang-undang yang berlaku saat ini sebesar US$ 28,5 triliun. Jika RUU penangguhan plafon utang tidak segera diteken, maka ada peluang pemerintahan akan shutdown atau berhenti beroperasi karena tidak memiliki sumber pembiayaan lagi. Selain itu, kondisi ini juga akan menciptakan default atau gagal bayar pertama yang dialami pemerintah AS.
Dalam RUU yang diajukan kepada Senat, pemerintah meminta penangguhan plafon utang hingga Desember mendatang. Melalui beleid baru ini, pemerintah juga dapat meminta dana tambahan US$ 28,6 miliar dalam rangka bantuan bencana alam dan US$ 6,3 miliar untuk pemulihan kembali pengungsi Afghanistan.
Kongres AS hanya punya waktu kurang dari sepuluh hari untuk meloloskan RUU ini sebelum tahun fiskal berakhir 30 September mendatang. Sementara, Partai Demokrat yang mendukung langkah berada di belakang pemerintah telah berhasil meloloskan RUU ini dalam pembahasan di DPR. Demokrat mengungguli Republik dengan jumlah suara 220-211.
Namun langkah ini belum berakhir, RUU ini akan masuk dalam pembahasan di Senat. Pada saat yang sama, partai Republik secara terang-terangan mengatakan masih akan terus menjegal agar RUU tersebut tidak diloloskan.
Pemimpin partai Republik di Senat Chuck Schumer mengatakan penangguhan plafon utang berpotensi menyebabkan kenaikan suku bunga konsumen dan kemungkinan kenaikan pajak untuk menutupi pembayaran bunga yang lebih tinggi
"Ini bermain dengan api. Bermain-main dengan plafon utang adalah bermain api dan meletakkannya di belakang rakyat Amerika, ” kata Schumer, dikutip dari Reuters, Selasa (21/9).
Jika Republik berhasil mengungguli Demokrat pada pembahasan di senat nanti, maka pemerintahan Biden bersiap untuk shutdown seperti yang sempat terjadi pada pemerintahan Trump akhir 2018 lalu. Dampak dari shutdown saat itu membuat 300 ribu pegawai pemerintah bekerja di rumah dan PDB terpangkas. Perekonomian Amerika tetap bergerak ketika itu. Namun, kondisinya berbeda dengan saat ini yang masih dalam pemulihan pandemi Covid-19.
Bola panas pembahasan kenaikan plafon utang tampaknya hanya bergulir di politik AS. Thailand awal pekan ini secara mulus berhasil meloloskan kebijakan kenaikan plafon utang dari semula 60% menjadi 70%. Langkah diambil untuk memberi ruang lebih luas bagi pemerintah menarik utang lebih banyak demi mendanai program pemulihan Covid-19.
"Kenaikan pagu utang untuk meningkatkan ruang fiskal bagi pemerintah dan untuk memastikan tidak ada halangan jika pemerintah perlu meminjam uang untuk melaksanakan kebijakan fiskal dalam jangka menengah, juga sambil mempertahankan kemampuan pembayaran utang yang baik,” kata Menteri Keuangan Thailand Arkhom Termpittayapaisith dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip dari Bangkok Post, Senin (21/9).
Posisi utang pemerintah Thailand terus membengkak seiring penanganan pandemi yang terus naik sejak April lalu. Hingga akhir Juli, posisi utang pemerintah sudah mencaapi 8,9 triliun bath setara Rp 3.791 triliun atau 55,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini diprediksi akan membengkak menjadi 58,9% terhadap PDB pada akhir bulan ini, yang artinya makin mendekati batas maksimum 60%.
Kenaikan pagu utang dilakukan pemerintah di tengah protes oleh warga sipil yang masih berkecamuk meminta Perdana Menteri Prayut Chan-ocha mundur dari jabatannya karena dinilai gagal mengatasi pandemi. Lonjakan tinggi terjadi dalam beberapa bulan terakhir, puncaknya pada pertengahan bulan lalu yang terus berada di atas 20 ribu kasus baru perhari.
Di sisi lain, tingkat vaksinasi di negeri gajah putih itu juga lebih lambat dari negara lainnya di ASEAN meski kondisinya kini sudah lebih baik. Jumlah penerima dosis pertama saat ini mencapai 41,5% dari total populasi, sedangkan penerima dosis kedua telah mencakup 21,5% populasi.
Hal serupa juga dilakukan negeri jiran, Malaysia. Kabinet Malaysia mengusulkan untuk menaikkan plafon utang saat ini 60% menjadi 65% seiring besarnya kebutuhan untuk menangani Covid-19. Namun, rencana ini masih perlu mendapat restu dari DPR Malaysia.
Jika benar-benar disetujui, ini akan jadi kali kedua Malaysia menaikkan plafon utangnya sejak awal pandemi Covid-19. Pemerintah Malaysia pada Agustus tahun lalu juga menaikan batas maksimal utang dari 55% menjadi 60%, yang merupakan kali pertama sejak langkah serupa dilakukan pada krisis keuangan 2009.
Keputusan untuk menaikkan batas utang diambil untuk memberi keleluasan bagi pemerintah menarik lebih banyak utang untuk pemulihan ekonomi. Seperti diketahui, Malaysia juga menghadapi lonjakan kasus Covid-19 tertingginya dalam beberapa bulan terakhir.
Seiring pelebaran batas utang tersebut, Menteri Keuangan Malaysia Tengku Datuk Seri Zafrul Abdul Aziz mengungkap utang pemerintah diproyeksikan membengkak melebihi batas 60% pada akhir tahun nanti. Sementara hingga saat ini, rasio utang terhadap PDB sudah menyentuh 58%.
"Sampai batas tertentu, kami memiliki ruang fiskal yang terbatas tetapi itu tidak menghentikan kami untuk terus memperluas kebijakan fiskal kami untuk mendukung perekonomian," kata Tengku Zafrul dalam konferensi persnya awal bulan ini seperti dikutip dari New Strait Times.
Seiring penarikan utang yang makin masif, ia juga memperkirakan defisit fiskal Malaysia pada tahun ini akan kembali naik di kisaran 6,5%-7,0% dari realisasi tahun lalu 6,0% serta meleset jauh dari target 3% tahunan. Menurutnya. defisit fiskal baru akan bisa kembali ke kondisi normal 3% dalam tiga hingga empat tahun lagi.
Lonjakan utang melampaui pagu juga dialami Filipina. Utang Filipina tembus 11,61 triliun peso atau setara 60,4% terhadap PDB. Ini artinya pemerintah telah menarik utang melampaui batas yang ditetapkan dalam UU sebesar 60%. Mengutip Philstar, utang diperkirakan masih akan membengkak hingga 11,73 triliun peso pada akhir tahun dan tembus 13,41 triliun peso pada tahun depan.
Seiring membengkaknya nilai utang tersebut, Kongres Filipina mengajukan RUU yang berisi ketentuan baru plafon utang 50% terhadap PDB. Namun Sekretaris bidang Keuangan Carlos Dominguez III langsung menentangnya karena dinilai membuat kondisi fiskal makin tidak fleksibel dan mengganggu upaya pemerintah mendorong pemulihan ekonomi.
Kondisi Utang Indonesia
Berbeda dengan AS, Malaysia, Thailand, dan Filipina, rasio utang Indonesia terhadap PDB saat ini masih berada di bawah batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara rasio yang mematok rasio utang 60% dari PDB. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang pemerintah hingga Juli 2021 mencapai Rp 6.570 triliun atau 40,15% terhadap PDB.
Rasio utang terhadap PDB pada Juli bahkan turun dibandingkan Juni yang mencapai 41,35%. Meski demikian, posisi utang tersebut bertambah Rp 1.135 triliun atau naik 20,89% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19 menyebabkan posisi utang pemerintah pusat secara nominal mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu," demikian tertulis dalam APBN Kita edisi Agustus 2021.
Komposisi utang pemerintah bulan Juli masih didominasi surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 5.727,71 triliun, atau 87,18% terhadap total utang pemerintah. Utang berbentuk SBN, terdiri atas SBN domestik Rp 4.437,61 triliun dalam bentuk SUN Rp 3.627,99 triliun dan sukuk Rp 809,63 triliun, serta SBN valas Rp 1.290,09 triliun dalam bentuk SUN valas Rp 1.001,58 triliun dan sukuk valas Rp 288,52 triliun.
Utang pemerintah juga berasal dari pinjaman dari dalam negeri Rp 12,70 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 829,76 triliun. Adapun pinjaman luar negeri terbagi lagi ke dalam tiga kategori, yakni pinjaman bilateral Rp 312,64 triliun, pinjaman multilateral Rp 474,39 triliun dan pinjaman bank komersial Rp 42,73 triliun.
Sri Mulyani mengakui pandemi telah mendorong banyak negara menghadapi tantangan berupa pembengkakan utang, tidak terkecuali Indonesia. Dia menyebut kebutuhan dana untuk penanganan pandemi dan perlindungan masyarakat yang besar, ditambah melemahnya penerimaan negara akibat lesunya ekonomi yang berimplikasi pada peningkatan utang pemerintah tahun lalu.
"Rasio utang Indonesia terhadap PDB tahun lalu 39,4%, meski demikain pembiayan APBN dapat dijaga dalam kondisi aman sehingga rasio utang tetap dapat dijaga di bawah maksimum 60% sesuai peraturan perundang-undangan," kata Sri Mulyani pada bulan lalu.
Sri Mulyani membandingkan pelebaran rasio utang Indonesia yang juga jauh lebih terjaga dibandingkan dengan negara lainnya. Dia menyebut Meksiko memiliki rasio utang terhadap PDB yang lebih tinggi yakni 61%, India 89,4% Brazil 93,9% Tiongkok 66,3% dan AS 133,6%.