• Ekonomi global menghadapi ancaman baru dari krisis Evergrande hingga risiko gagal bayar AS.
  • Pemerintah akan mendorong konsumsi domestik di tengah berbagai ancaman eksternal untuk menjaga pemulihan ekonomi. 
  • Pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini diperkirakan mencapai kisaran 4%.

Ancaman baru pemulihan ekonomi global datang dari dua ekonomi terbesar dunia, Cina dan Amerika Serikat. Cina sedang menghadapi risiko gangguan stabilitas sistem keuangan akibat kejatuhan raksasa properti Evergrande yang dililit utang ribuan trilun. Sementara itu, Amerika Serikat tengah menghadapi risiko baru yakni kegagalan membayar utang dan penutupan pemerintahan jika usulan penangguhan batas utang pemerintah tak dikabulkan.

Mengutip Bloomberg, Krisis utang Evergrande saat ini telah berdampak pada kenaikan biaya pinjaman di Cina. Hal ini telah disikapi oleh Bank Sentral Tiongkok dengan menyuntikkan tambahan likuiditas ke Perbankan mencapai 100 miliar yuan atau setara Rp 220 triliun pada kemarin (27/9). People Bank of China telah menggelontorkan 500 miliar yuan atau separa Rp 1.100 triliun dalam sepekan terakhir. 

Cina kemungkinan memilih untuk menyelamatkan sistem keuangan dengan menggelontorkan likuiditas ke perbankan dibandingkan mem-bail out Evergrande. Laporan Wall Street Journal menyebutkan, pemerintah Cina telah meminta pemerintah daerah untuk bersiap mengantisipasi ‘badai’ kejatuhan Evergrande. Namun, pemerintah daerah hanya diminta turun tangan untuk menjaga ketertiban jika Evergande tak dapat mengatasinya. 

Evergrande tengah menghadapi kemarahan bukan hanya dari pembeli properti, tetapi juga investor wealth management. 

Di sisi lain, nasib penangguhan plafon utang AS hingga kini juga belum jelas. Kongres kehabisan waktu untuk mencegah penutupan pemerintah dan gagal bayar pemerintah AS setelah Senat Partei Republik menolak RUU yang akan mendanai pemerintah dan menangguhkan plafon utang AS.

Anggota parlemen perlu menyetujui RUU tersebut sebelum Jumat untuk menghindari penutupan pemerintahan (government shutdown). AS juga berisiko gagal bayar jika Kongres tidak menaikkan plafon utang pada titik yang kemungkinan akan terjadi pada Oktober, menurut Departemen Keuangan.

Investor khawatir ekonomi Cina dan AS akan melambat. Para analis memangkas prospek pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut pada tahun ini. Bank of America misalnya, menurunkan poyeksi pertumbuhan ekonomi Cina dari 8,3% menjadi 8,1%. Hal serupa juga dilakukan Fitch Ratings yang memangkas prospek pertumbuhan ekonomi kedua terbesar dunia dari 8,4% menjadi 8,1%. 

OECD juga menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi AS pada tahun ini dalam laporannya yang dirilis bulan ini dari 6,9% pada Proyeksi Mei menjadi 6%. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut mewaspadai dampak rambatan kondisi kedua ekonomi terbesar dunia ini kepada pemulihan ekonomi domestik. Kedua negara tersebut memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Indonesia, terutama terkait perdagangan. 

"Situasi ekonomi RRT harus kita pelajari dan waspadai. Bagaimana pun, ekspor komoditas sangat dipengaruhi oleh global economic recovery terutama di RRT, Eropa dan Amerika Serikat," ujarnya dalam Konferensi Pers APBN Kita, pekan lalu. 

Cina dan Amerika Serikat adalah dua negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Berdasarkan data BPS, ekspor nonmigas  Cina pada Januari-Agustus 2021 mencapai US$ 29,64 miliar dengan kontribusi 22,1% terhadap total ekspor nonmigas. Sementara itu, ekspor ke Amerika Serikat mencapai US$ 15,8 miliar dengan kontribusi 11,78%. 

 “Pemerintah akan menjaga kondisi domestik agar daya tahan ekonomi terjaga di tengah berbagai tekanan Eksternal,” kata Sri Mulyani.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal juga menilai efek krisis Evergrande dan risiko gagal bayar AS dapat terasa hingga Indonesia. Krisis Evergrande dapat berdampak pada sektor riil, sedangkan krisis Evergrande dapat mempengaruhi hingga sektor rail. 

Faisal khawatir bayang-bayang kebangkrutan Evergrande dapat memicu lesuhnya konsumsi Tiongkok sehingga dapat menganggu ekspor Indonesia ke negara tersebut.  Ini karena Evergrande tak hanya memiliki peran besar pada sektor utamanya tetapi juga memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya. 

“Begitu permintaan di Tiongkok melemah, ini jelas akan mengurangi kebutuhan terhadap impor, terutama komoditas yang saat ini harganya sedang naik dan mendorong kinerja ekspor," kata Faisal.

Dia memperkirakan penurunan permintaan barang bukan hanya pada komoditas yang berhubungan dengan properti seperti besi dan baja, tetapi lebih luas. Sektor energi seperti batu bara dan minyak sawit (CPO) yang menjadi komoditas ekspor utama Indonesia diperkirakan ikut terpengaruh. 

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement