Rupiah Melemah Rp 14.381 per US$ Tertekan Sentimen Negatif Omicron

Abdul Azis Said
20 Desember 2021, 09:48
rupiah, omicron, tapering off, nilai tukar, makro
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Pegawai menunjukkan mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (5/11/2021). Terdapat aksi jual neto sebesar Rp 2,79 triliun pada 8-12 November di pasar saham dan SBN.

Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,18% ke level Rp 14.381 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Nilai tukar mata uang garuda melemah tertekan kekhawatiran pasar yang meningkat terhadap penyebaran varian baru Covid-19 Omicron.

Mengutip Bloomberg, rupiah menguat tipis ke Rp 14.380 pada pukul 09.20 WIB. Meski demikian ini masih jauh dari posisi penutupan pekan lalu di Rp 14.355 per dolar AS.

Mayoritas mata uang Asia lainnya melemah. Dolar Hong Kong melemah 0,01% bersama dolar Taiwan 0,12%, won Korea Selatan 0,71%, yuan Cina 0,04%, ringgit Malaysia 0,18% dan baht Thailand 0,45%. Sementara yen Jepang menguat 0,09% bersama peso Filipina 0,12% dan rupee India 0,01%, sedangkan dolar Singapura stagnan.

Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan melemah ke kisaran Rp 14.400, dengan potensi penguatan di level Rp 14.330 per dolar AS. Rupiah masih akan tertekan di tengah meningkatnya kekhawatiran dunia terhadap penyebaran Omicron.

"Pasar masih mewaspadai terkait dampak dari terinfeksi varian covid-19 ini meskipun banyak peneliti menyebutkan dampaknya ringan, tapi kelihatannya masih menjadi tanda tanya," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (20/12)

Pemerintah Inggris melaporkan hingga Sabtu (18/12) sudah ada tujuh pasien positif Omicron yang meninggal dunia. Jumlah kasus positif Omicron bertambah 24.968 orang. Sedangkan pasien varian tersebut yang menjalani rawat inap juga bertambah dari 65 menjadi 85 orang.

Selain adanya pasien positif yang meninggal, Ariston mengatakan kekhawatiran terhadap Omicron juga setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) varian ini telah menyebar di 89 negara dunia dan menyebabkan lonjakan penularan dua kali lipat hanya dalam tiga hari pada akhir pekan lalu.

"Sepanjang akhir pekan kemarin, media nampak mengungkapkan kekhawatiran negara-negara di dunia soal penyebaran Omicron," kata Ariston.

Kekhawatiran terhadap Omicron juga mendorong sejumlah negara di Eropa yang kini berjuang menghadapi lonjakan kasus untuk kembali menerapkan lockdown atau penguncian wilayah. Belanda mengumumkan akan melakukan lockdown selama periode Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 (Nataru).

Otoritas Negeri Kincir Angin itu menginstruksikan agar semua toko dan layanan yang kurang penting, termasuk restoran, penata rambut, museum dan gym untuk tutup mulai kemarin (19/12) hingga 14 Januari 2022. Sementara sekolah ditutup hingga 9 Januari tahun depan.

Selain itu, sentimen pelemahan pada nilai tukar juga masih dipengaruhi respon pasar terhadap percepatan tapering off bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). "Sentimen percepatan tapering dan kenaikan suku bunga acuan AS juga masih menjadi pendorong penguatan dolar AS," kata Ariston.

The Fed memulai tapering off berupa pengurangan pembelian aset sejak akhir bulan lalu. Kendati demikian, tekanan inflasi yang tak kunjung reda mendorong mereka mengambil langkah lebih agresif dengan mempercepat penarikan stimulus mulai bulan depan.

Dengan kondisi tersebut The Fed punya ruang yang lebih besar untuk mulai menaikkan suku bunga acuannya pada paruh kedua tahun depan. Mereka diperkirakan bisa menaikkan bunga acuannya sebanyak tiga kali pada tahun depan.

Senada dengan Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto juga melihat rupiah akan melemah di kisaran Rp 14.395, dengan potensi penguatan di Rp 14.330 per dolar AS. Dia mengatakan belum ada sentimen positif dari dalam negeri yang bisa menahan laju pelemahan rupiah.

"Dari dalam negeri masih belum banyak sentimen yang bisa menopang. Pasar tampaknya berharap penyebaran Omicron dapat dikendalikan," kata Rully kepada Katadata.co.id.

Data ekonomi terutama surplus neraca dagang sebenarnya sudah dirilis pekan lalu, tetapi ini tidak cukup untuk bisa mengungkit nilai tukar di tengah berbagai sentimen pelemahan yang muncul bersamaan pekan lalu. Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan pada November 2021 surplus US$ 3,51 miliar, turun setelah mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah pada Oktober sebesar US$ 5,74 miliar.

Penurunan pada nilai surplus neraca dagang November terutama karena nilai impor tumbuh lebih cepat dibandingkan ekspor. Nilai ekspor bulan November sebesar US$ 22,84 miliar, naik 3,69% dari bulan sebelumnya. Sementara itu, nilai impor Indonesia tercatat US$ 19,33 miliar, naik 18,62% dari bulan sebelumnya.

Reporter: Abdul Azis Said

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...