Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami tantangan penurunan pesanan yang menyebabkan ratusan perusahaan tekstil bangkrut. Meski demikian, beberapa emiten tercatat masih mendapat kenaikan laba, seperti PT Sri Rejeki Isman (SRIL) atau yang kerap disebut Sritex serta PT Indo Rama Synthetics Tbk (INDR).
Pada semester I 2019, Sritex membukukan laba sebesar US$ 63,2 juta atau RP 884,8 miliar (dengan kurs Rp 14.000 per dolar AS). Laba bersih ini meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu (year on year/ yoy) senilai US$ 56 juta atau Rp 784 miliar. Kenaikan tersebut ditopang oleh pendapatan usaha sebesar US$ 513 juta, sedangkan beban usaha US$ 38 juta.
(Baca: Asosiasi Tekstil Ungkap Penutupan Sembilan Pabrik Akan Bertambah)
Hal serupa juga dialami Indorama Synthetics, emiten pembuatan benang pintal dan campuran, benang filamen poliester (termasuk benang mikrofilamen), yang mencatat kenaikan laba.
Pada semester I 2019, perseroan membukukan laba bersih sebesar US$ 35 juta atau Rp 490 miliar. Angka ini meningkat 48,9% dibandingkan tahun sebelumnya yang sekitar US$ 23,5 juta atau Rp 329 miliar.
Kenaikan laba yang signifikan Indorama ditopang oleh pendapatan usaha sebesar US$ 398 juta, sedangkan beban keuangannya tercatat sebesar US$ 6,4 juta.
Emiten Tekstil Merugi
Situasi serupa rupanya tak terjadi pada seluruh emiten tekstil dan produk tekstil. Sebab, ada pula beberapa perusahaan tekstil yang mencatat kerugian seperti PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY).
POLY merugi hingga US$ 3,8 juta atau Rp 53 miliar pada enam bulan pertama 2019. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, POLY membukukan laba bersih US$ 11,11 juta atau Rp 155,5 miliar. Pendapatan dan penjualan POLY pada semester lalu sebesar US$ 213 juta, atau tumbuh 6,9% secara tahunan. Sedangkan beban usaha perseroan tercatat US$ 199 juta.
Adapun PT Polychem Indonesia Tbk (ADMG) justru mencatat penurunan laba bersih. Produsen poliester ini mencatat laba bersih sebesar US$ 10,2 juta atau Rp 142,8 miliar pada semester I 2019, turun 28% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Anjloknya kinerja laba perseroan salah satunya disebabkan oleh menurunnya penjualan menjadi US$ 118 juta. Sedangkan pada periode yang sama tahun lalu, penjualan perseroan mencapai US$ 203 juta.
(Baca: Asosiasi Sebut Sembilan Pabrik Tekstil Tutup akibat Gempuran Impor)
Sebelumnya, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan tantangan industri tekstil semakin berat.
Hal ini menyebabkan sejumlah pabrik tekstil menutup usahanya. Sekretaris Jenderal API Ernovian G. Ismy mengatakan, penutupan pabrik tekstil sudah terjadi sejak 2017. Pabrik yang ditutup tersebut meliputi pabrik lokal hingga asing.
"Jumlahnya akan bertambah (pabrik tekstil yang tutup). Tapi kami masih inventarisir, ada anggota API dan bukan," kata dia di Jakarta, Rabu (11/9).
Pabrik tekstil yang tutup tersebut sebagian besar berada di sektor antara yang memiliki pasar lokal. Hanya saja, API enggan menyebutkan detail perusahaan maupun jumlah pabrik yang bakal tutup tersebut.
Namun, tiga dari perusahaan yang tutup merupakan pabrik yang ada di Jabodetabek dan ingin merelokasi ke Jawa Tengah.