Tahun Politik, Industri Retail Ditargetkan Tumbuh 10%

Arief Kamaludin | Katadata
industri retail
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
17/1/2019, 08.13 WIB

Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) menargetkan pertumbuhan industri tahun ini mencapai 10%, tak jauh berbeda dengan realisasi pertumbuhan 2018 yang mencapai sekitar 9%. Asosiasi memasang target konservatif karena mempertimbangkan berbagai kondisi saat ini seperti tahun politik serta pertumbuhan ekonomi yang masih menantang.

Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta menjelaskan industri diharapkan tumbuh dengan batas minimal 10%. Dengan demikian dia berharap penjualan retail bisa tetap terjaga."Jika realisasinya kurang dari itu, perusahaan pasti akan rugi," kata Tutum kepada Katadata.co.id di Jakarta, Rabu (16/1).

(Baca: Pengusaha Retail Tutup Gerai karena Faktor Lokasi dan Kondisi Ekonomi)

Menurutnya, saat ini ada perubahan pola belanja dan pola konsumsi masyarakat yang semakin tak bisa terprediksi karena kemajuan teknologi digital. Sehingga, kegiatan belanja masyarakat pada perusahaan atau gerai retail juga bisa jadi akan berkurang.

Ditambah, persaingan dengan perdagangan elektronik dan penjualan produk lewat media sosial yang juga berpotensi mengganggu potensi penjualan retail modern. "Ada ceruk yang terambil,  sehingga kami harus lebih kreatif memasarkan barang," ujar Tutum.

(Baca: Pengusaha Retail Sebut Aturan Pajak E-Commerce Seimbangkan Persaingan)

Menurutnya, masyarakat bakal terdistraksi dengan perkembangan politik karena  Pemilihan Umum (Pemilu). Setelah itu, pergantian kabinet juga bisa mempengaruhi kinerja industri retail misalnya dalam hal kebijakan. 

Sepanjang 2018, Aprindo mencatat  pertumbuhan industri retail berada di kisaran 9%. Pertumbuhan ini salah satunya terdorong oleh banyaknya acara  internasional yang berlangsung, seperti Asian Games 2018 serta pertemuan tahunan Bank Dunia.

 Sementara itu, tumbangnya sejumlah gerai retail di 2018 menurut pandangan Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani dikarenakan kondisi persaingan.

"Soal banyak toko tutup, itu bukan karena pasarnya (melemah), tapi tokonya yang tidak bisa bersaing," katanya dikutip dari Antara, Rabu (16/1).

Aviliani menuturkan, Indonesia yang diklaim memiliki bonus demografi seharusnya tidak mengalami penurunan daya beli. Sebab, peningkatan kelas menengah di Tanah Air akan dapat mendorong tingkat konsumsi.

(Baca: Bos Carrefour Chairul Tanjung Tanggapi Penutupan Banyak Gerai Retail)

Karenanya dia menilai, penutupan ritel kemungkinan lebih disebabkan oleh faktor internal perusahaan karena di sisi lain masih banyak perusahaan lain yang justru terus berekspansi.

"Ada yang ekspansi, ada yang tutup. Berarti ada perusahaan yang tidak bisa survive. Pasarnya tidak turun," imbuhnya.

Untuk menjaga daya saing di era daring saat ini, peritel perlu berinovasi dan mendorong kreativitas ritel untuk menggaet konsumen.

Meskipun pengalaman belanja daring sedikit mempengaruhi pola konsumsi masyarakat, tapi faktor tersebut menurutnya tidak berkontribusi signifikan. Sebab pola  daring harus diperhatikan demi mendukung perkembangan bisnis ke depan.

"Satu lagi, perusahaan yang tidak berekosistem juga akan bisa mati karena orang sekarang maunya 'satu untuk semua'. Tidak perlu ekosistem dalam satu grup, tapi bisa kerja sama dengan perusahaan lain," ujarnya.

Reporter: Michael Reily