Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan perlu ada masa transisi bagi Indonesia sebelum benar-benar memproduksi dan menjual mobil listrik di dalam negeri. Kesiapan infrastruktur dan industri otomotif Tanah Air menjadi alasannya. Ini merupakan kesimpulan atas kunjungan Kemenperin ke Jepang pekan lalu.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan kunjungannya ke Jepang adalah untuk mengevaluasi proyek-proyek yang akan dijalankan oleh pemerinta. Salah satu yang menjadi pembahasan adalah terkait mobil listrik.
(Baca: Jokowi Setuju Rencana Wajib Produksi Mobil Listrik Tahun 2025)
Menurutnya, negara dengan teknologi maju seperti Jepang saja membutuhkan waktu transisi sebelum memproduksi dan menggunakan mobil dengan bahan bakar sepenuhnya dari listrik. Apalagi negara seperti Indonesia yang perkembangan teknologinya masih di bawah Jepang.
"Jepang arahnya memang listrik, tapi menuju ke sana ada masa transisi ke hybrid. Secara gradual pindah tidak bisa langsung dan Jepang melalui proses itu," ujar Putu saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (30/10).
Dia menjelaskan terdapat beberapa alasan perlunya masa transisi. Pertama, dampak yang ditimbulkan industri otomotif dan industri terkait lainnya dalam memproduksi mobil listrik secara keseluruhan. Jumlah komponen mesin yang digunakan oleh mobil konvensional bisa mencapai ribuan, yang diproduksi oleh banyak industri. Sedangkan, mobil listrik hanya ratusan komponen.
(Baca: Jonan Beberkan Alasan Perlunya Insentif Pajak untuk Mobil Listrik)
Kedua, kesiapan industri dalam negeri dalam memproduksi mobil listrik. Putu mengatakan, Indonesia tidak bisa gegabah dalam melakukan produksi tersebut. Karena teknologi yang digunakan cukup tinggi. Apabila memutuskan menggunakan teknologi tertentu tetapi belum mapan, dikhawatrikan akan berubah di tengah jalan. Dampaknya, industri tidak siap memproduksi mobil listrik secara berkelanjutan.
"Di tengah jalan kalau berubah lagi, nanti kita (Indonesia) hanya akan menjadi pengguna. (Padahal) kita berharap kontribusi dalam produksi," ujarnya. "Kalau tidak siapkan industrinya, ujung-ujungnya harus beli (impor) lagi."
Ketiga, kesiapan pemerintah menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan. Pemerintah harus menyediakan stasiun pengisian daya baterai mobil listrik (charging station) atau SPLU. Jangan sampai, mobil listri telah siap diproduksi, tapi infrastruktur sulit ditemukan. Pemerintah juga harus memikirkan lamanya satu buah mobil mengisi daya. Sehingga, perlahan diperlukan waktu transisi untuk tidak langsung menggunakan tenaga listrik sepenuhnya.
Saat ini Jepang pun belum menerakan mobil listrik sepenuhnya. Secara umum, Jepang masih menggunakan mobil hybrid yakni sebanyak 20 persen dari total populasi kendaraannya. Namun, di dalam persentase tersebut terdapat beberapa jumlah kendaraan yang telah menggunakan listrik sepenuhnya.
Dalam masa transisi, terdapat beberapa macam teknologi hybrid yang digunakan di Jepang. Ada yang menggunakan listrik tetapi tetap menggunakan mesin konvensional untuk mengisi daya baterainya. Ada pula yang masih menggunakan mesin konvensional untuk membantu pergerakan mesin terutama menjalankan roda. Selain itu, Jepang juga tengah mengadopsi mobil berbahan bakar shell fuel yakni menggunakan hidrogen.
(Baca: BP Nilai Mobil Listrik Tak Signifikan Kurangi Konsumsi Minyak)
Perlunya masa transisi ini juga sempat diungkapkan oleh produsen otomotif PT Astra International Tbk. Perusahaan ini meminta pemerintah melakukan transisi terlebih dulu, sebelum mengembangkan mobil listrik di Indonesia. Salah satu caranya dengan mengembangkan mobil dengan teknologi hybrid.
"Jadi, istilahnya kalau ke Bogor lewat Jagorawi dulu lah. Kalau mau ke listrik tulen, saya rasa ke hybrid dulu," ujar Direktur Utama Astra Prijono Sugiarto beberapa waktu lalu.
Agar transisi menuju mobil listrik berhasil, pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk mengembangkan teknologi hybrid. Untuk itu, Sugiarto berharap pemerintah dapat membuat peraturan baru terkait dengan emisi karbon, termasuk penggunaan teknologi hybrid.
(Baca: Jonan Usul ke Jokowi Larang Penjualan Mobil BBM di 2040)