Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyarankan pemerintah memperbaiki aturan mengenai kewajiban perusahaan pertambangan memasok batu bara dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO). Aturan ini dinilai merugikan perusahaan tambang daerah yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Perusahaan pertambangan batu bara tak perlu dipaksakan memasok produksinya untuk dalam negeri. Dia pun mengungkapkan beberapa alasannya. Pertama, banyak perusahaan yang memegang IUP memproduksi batu bara yang kualitasnya tidak cocok dengan kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang ada di Indonesia.
Bagi perusahaan yang memproduksi batu bara jenis coking coal tentunya sangat sulit untuk memenuhi DMO. Karena batu bara jenis ini sama sekali belum dibutuhkan di dalam negeri.
(Baca: Pasokan Batu Bara untuk Domestik 2019 Dinilai Terlalu Tinggi)
Kedua, pemilik pembangkit di dalam negeri biasanya telah memiliki kontrak jangka panjang untuk jual beli batu bara. Ini menyulitkan kontraktor yang baru ingin memproduksi, menjual hasil tambangnya di dalam negeri.
Ketiga, kapal pengangkut batu bara di pelabuhan juga memiliki spesifikasi tertentu. Ini menjadi kendala dalam pengiriman batu bara. "Mau mengirim, ternyata kapal yang ada di pelabuhan justru tidak cocok. Sehingga DMO tidak bisa dipaksakan," ujar dia, kepada Katadata.co.id, Kamis (18/4).
Singgih juga menjelaskan transfer kuota tidak menjadi solusi bagi perusahaan yang tidak bisa memenuhi DMO. Justru hal ini memberatkan dan bisa merugiakan perusahaan. Transfer kuota ini maksudnya, perusahaan membeli kelebihan batu bara dari produsen lainnya yang cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan pembangkit PLN.
Karena transfer kuota bisa dipatok dengan harga yang lebih tinggi. Sedangkan, produksi batu bara dari perusahaan IUP jumlahnya tidak besar. Perusahaan tambang skala kecil akan pikir panjang untuk melakukan transfer kuota, karena keuntungan yang mereka dapat sangat kecil.
(Baca: Kementerian ESDM Putuskan DMO Batu Bara Maksimal 25% Tahun Ini)
Untuk menyelesaikan masalah ini, Singgih berpendapat untuk aturan DMO ini pemerintah harus memperbaiki kapal logistik batu bara, sehingga tidak ada keterbataan dalam pengiriman. Selain itu, tidak perlu adanya transfer kuota. Untuk sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi bisa dikenakan sanksi berupa denda yang dihitung dari kewajiban per tonnya.
"Jika tidak memenuhi DMO maka akan denda sekian sen (dolar) per ton. Jadi sebagai pengganti transfer kuota," ujarnya.
Tahun ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum memutuskan besaran DMO yang diwajibkan, karena masih dalam tahap evaluasi. Sedangkan pada tahun lalu, pemerintah menetapkan DMO yang harus dipenuhi, yaitu 25 persen dari total produksi.
Adapun, tahun lalu ada 34 perusahaan yang belum memenuhi DMO yaitu terdiri dari pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan IUP Operasi Produksi (OP) Penanaman Modal Asing (PMA). Sementara itu, perusahaan yang berhasil memenuhi DMO ada 36 yang terdiri dari PKP2B,IUP OP Badan Usaha Milik Negera (BUMN), dan IUP OP PMA.
Realisasi DMO pada 2018 yaitu hanya 115 juta ton, padahal targetnya 121 juta ton. DMO tahun lalu itu untuk PLTU 91,14 juta ton, metalurgi 1,75 juta ton, semen, tekstil, pupuk dan kertas sebesar 22,18 juta ton. Selain itu, untuk briket sebesar 0,01 juta.
(Baca: Harga Batu Bara Turun, Bos Indika Energy Perlu Putar Otak Tekan Biaya)