Pemerintah telah menyelesaikan draf Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas). Dalam aturan itu ada beberapa Daftar Isian Masalah (DIM), salah satunya mengenai kelembagaan badan usaha hulu dan hilir.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan untuk kegiatan hulu nantinya tetap dipegang badan pengganti Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Statusnya berupa Badan Usaha Milik Negara.
Badan kegiatan hulu itu, akan berperan sebagai institusi yang mengumpulkan iuran dari kontraktor migas, dan engaturnya dalam sebuah wadah bernama dana migas (Petroleum Fund). Petroleum fund digunakan salah satunya untuk menunjang kegiatan hulu migas seperti pembiayaan kegiatan eksplorasi. “Ini yang harus dibahas dulu dengan DPR," kata Djoko di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/1).
Badan usaha hulu migas ini nantinya juga bisa memiliki hak kelola (participating interest/PI) pada sebuah blok migas . Namun Djoko belum mau memerinci berapa persen hak kelola yang bisa diperoleh SKK migas. Yang jelas kepemilikan PI SKK Migas hanya sebagai mitra, bukan sebagai operator sebuah blok.
Menurut dia, tujuan SKK Migas memiliki PI di sebuah blok tersebut untuk menjalankan fungsi kontrol, terutama dari segi keuangan agar pengelolaan proyek di blok migas efisien. "BUMN ini bukan yang kayak di bawah kementerian yang harus profit," ujar Djoko.
Untuk sektor hilir, pemerintah juga mengusulkan BPH Migas tetap ada seperti saat ini. Nantinya peran BPH Migas juga akan diatur dalam RUU Migas versi pemerintah, salah satunya mengumpulkan iuran dari badan usaha. Iuran tersebut akan digunakan untuk kepentingan pengembangan di sektor hilir, misalnya membangun tangki penyimpanan.
(Baca: Sembilan Poin Penting yang Disepakati Badan Legislasi dalam RUU Migas)
Dalam DIM RUU Migas itu, pemerintah, juga mengusulkan agar gross split masuk dalam UU Migas. Gross split merupakan skema kontrak migas baru yang mulai berlaku sejak 2017. "Masuk," kata dia.