Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) melayangkan surat kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar aturan mengenai kewajiban asuransi nasional bagi eksportir batu bara dan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) ditunda. Alasannya, pengusaha butuh waktu untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Aturan dimaksud tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 80 Tahun 2018 tentang petunjuk teknis pelaksanaan ketentuan penggunaan asuransi nasional untuk ekspor dan impor barang tertentu. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Februari.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menyatakan eksportir membutuhkan waktu untuk mencari perusahaan yang bisa memberikan asuransi nasioanal. "Harus ada waktu yang cukup untuk mengenal perusahaan asuransinya," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (21/1).
Selain itu, APBI meminta pemerintah menjelaskan mengenai kewajiban ini kepada importir atau pembeli. Ini karena, dalam praktik perjanjian jual beli, sebagian besar menggunakan skema free on board (FOB). Artinya, pembeli yang memilih perusahaan jasa asuransi dan penyedia kapal.
Menurut Hendra, kebijakan itu juga akan menambah beban biaya bagi eksportir. Apalagi saat ini harga batu bara belum begitu menjanjikan. "Bukan mengutungkan jadinya membebani ekportir, karena situasi sekarang juga harga jatuh," kata dia.
Adapun, dalam keterangan pers APBI, pemerintah juga belum membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) dari peraturan tersebut. Ini menimbulkan ketidakjelasan terhadap kewajiban asuransi nasional.
Untuk itu, APBI meminta agar dibuatnya jugklak sebelum aturan tersebut diterbitkan. Kemendag dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun harus bisa menginformasikan mengenai perusahaan asuransi yang direkomendasikan, untuk menghindari kegiatan ekspor menjadi terganggu. "Kami sudah support, tapi jangan sampai mengganggu ekspor," kata Hendra.
Kementerian Perdagangan menjawab kritik terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 80 Tahun 2017 dan Permendag Nomor 82 Tahun 2018 . Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan penetapan kebijakan asuransi dan angkutan laut nasional dilakukan pemerintah Indonesia atas beberapa pertimbangan, seperti kondisi perekonomian global yang sulit serta defisit neraca perdagangan Indonesia pada sektor jasa.
“Kegiatan logistik di Indonesia telah mencapai sebesar Rp2.400 triliun, tetapi perdagangan dan industri sektor transportasi laut maupun asuransi Indonesia hanya memegang porsi kurang dari 1%,” ujar Oke berdasarkan keterangan resminya.
(Baca: Kemendag Jawab Kritik Soal Kebijakan Wajib Asuransi dan Angkutan Laut)
Karena itu, Indonesia akan fokus pada peningkatan kapasitas dalam menjalankan bisnis dan industri angkutan laut dan asuransi. Pemerintah juga berkomitmen menjaga kegiatan ekspor dan tidak terjadinya kenaikan harga di sektor logistik.