Proses divestasi saham PT Freeport Indonesia menuai kritik dari beberapa pihak. Pemerintah dinilai tidak perlu tergesa-gesa untuk mendapatkan 51% saham dari perusahaan yang terafiliasi dengan Freeport McMoran itu.
Menurut Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, pemerintah sebaiknya menunggu kontrak Freeport Indonesia berakhir tahun 2021, lalu mengambil alihnya. Jika itu dilakukan, Freeport akan menjadi gerah karena butuh kepastian kelanjutan operasional.
Sikap pemerintah itu pun pasti akan berdampak pada saham Freeport McMoran di bursa New York. Saham tersebut bisa saja hancur dan tidak bernilai. Alhasil, Freeport akan minta tolong ke pemerintah. Pemerintah pun memiliki posisi tawar.
Pemerintah, kata Fuad juga tidak perlu takut jika Freeport mengajukan gugatan arbitrase karena kontrak tidak diperpanjang. “Kalau kalah bayar US$ 6 miliar tidak apa-apa. Freeport kan pergi, jadi tidak usah direcokin lagi,” kata dia di Jakarta, Kamis (26/7).
Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon Sembiring juga menilai pemerintah tidak perlu khawatir jika ada gugatan arbitrase. Ini karena sidang arbitrase mengacu peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, bukan Amerika Serikat.
Sidang arbitrase itu pun bisa dilakukan di Indonesia jika hakim sepakat. Adapun hakim arbiter terdiri dari yang ditunjuk pemerintah Indonesia, ditunjuk Freeport Indonesia, dan ditunjuk atas kesepakatan bersama.
Menurut Simon, pemerintah juga sebenarnya bisa menolak perpanjangan operasional Freeport setelah tahun 2021. Ini mengacu pasal 31 ayat 2 Kontrak Karya yang diteken tahun 1991.
Pasal itu memuat klausul yang berbunyi pemerintah tidak bisa menahan atau menunda persetujuan tanpa alasan. “Jika pemerintah menolak dengan alasan yang wajar dan masuk akal, perpanjangan tidak akan diperoleh Freeport,” ujar Simon.
Pemerintah pun bisa menggunakan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara beserta turunannya dalam ketika arbitrase. Beberapa poin penting dalam aturan itu yakni perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), keharusan pemurnian dalam negeri, kewajiban divestasi 51% dan batasan luas wilayah tambang.
Kemudian, pemerintah bisa mengacu pada Undang-undang Perseroan Terbatas. Ada juga Undang-undang tentang lingkungan yang dapat digunakan dalam membahas dengan Freeport Indonesia.
Pemerintah pun tidak perlu takut dengan biaya arbitrase. Menurut Simon paling mahal yakni US$ 15 juta. Namun, harga itu tergolong murah untuk menegakkan kedaulatan negara. Jika pemerintah Indonesia menang, biaya itu pun akan dikembalikan ditambah ganti rugi. “Dalam hal ini kami yakin sangat yakin menang,” ujar dia.
Keyakinan Simon itu juga berkaca pada pengalaman menggugat PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional. Dalam kasus itu pemerintah Indonesia bisa memenangkan gugatan itu.
Jadi menurut Simon, Pemerintah juga dinilai memiliki alasan menolak perpanjangan Freeport. “Sehingga divestasi yang dibayar lebih rendah dari yang disepakati saat ini,” ujar dia.
Adapun harga saham divestasi saham Freeport mencapai US$ 3,85 miliar. Ini berdasarkan pokok kesepakatan yang diteken pihak PT Indonesia Asahan Aluminium, Freeport McMoran dan Rio Tinto pada Kamis (12/7).
(Baca: Punya Kas Rp 16 Triliun, Inalum Cari Utang untuk Beli Saham Freeport)
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batu Bara mengatakan Indonesia juga mampu mengelola Tambang Grasberg jika Freeport tidak diperpanjang. “Orang asing itu bisa di-hire, ada teknologi yang dibutuhkan bisa sewa. Indonesia mampu,” kata dia.