Mewaspadai Dampak Sidang OPEC ke Indonesia

Arief Kamaludin|KATADATA
Di 2018, SKK Migas menargetkan produksi minyak blok Mahakam sebesar 42,01 ribu bph, dan target produksi gas sebesar 916 mmscfd. Kedua target ini lebih rendah dari produksi minyak dan gas 2017. Pekerja beraktifitas di Lapangan Senipah, Peciko dan South Mahakam (SPS), Kutai Kartanegara, Rabu (27/12/2017).
Penulis: Arnold Sirait
12/6/2018, 17.20 WIB

Pekan depan adalah waktu yang sangat dinanti investor minyak dan gas bumi (migas). Ketika di Indonesia masih dalam situasi halal bi halal usai Lebaran, di Wina tengah berlangsung sidang negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) ke 174.

Sidang itu rencananya digelar 22 Juni 2018. Namun, sebelum sidang dilaksanakan, seminar OPEC yang berlangsung 20 hingga 21 Juni ini pun tidak kalah bergengsi karena dihadiri banyak pejabat setingkat menteri dari negara negara produsen Non-OPEC.

Sidang kali ini, secara psikologis sebenarnya berbeda dengan sidang OPEC ke 171 yang terjadi 30 November 2016 lalu. Saat itu terjadi ketegangan penentuan alokasi pemotongan produksi bagi negara-negara anggota untuk mencegah harga minyak semakin merosot. Namun, akhirnya sidang memutuskan pemotongan produksi OPEC dari 33,8 juta barel per hari (bph) menjadi 32,5 juta bph.

Kenaikan harga minyak belakangan ini sebenarnya membuat sidang OPEC pekan depan relatif lebih rileks. Akan tetapi, tidak ada jaminan kalau sidang akan memutuskan tetap mempertahankan produksi sesuai perkiraan OPEC di kuartal II-2018 sekitar 32,4 juta barel per hari, atau menaikkan produksi sesuai imbauan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

“Pasar menanti keputusan OPEC untuk tetap mempertahankan level produksi atau menaikkan produksi,” ujar Kepala Divisi Teknologi dan Pengembangan Lapangan SKK Migas Benny Lubiantara, dikutip Selasa (12/6).

Harga minyak memang tidak pernah bisa diprediksi. Fundamental harga minyak dipengaruhi pasokan dan permintaan. Namun, pasokan dan permintaan dipengaruhi banyak faktor, seperti pertumbuhan ekonomi, teknologi, suku bunga, nilai tukar, pasar finansial, energi alternatif, energi efisiensi, regulasi terkait lingkungan, perkembangan mobil listrik, keputusan OPEC, ketegangan geopolitik, perang, bencana alam, cuaca dan lain-lain.

Di tengah ketidakpastian itu, perusahaan minyak menghadapi risiko terkait prediksi harga minyak. Untuk membuat keputusan investasi perlu asumsi harga minyak. Namun, ketika asumsi tersebut meleset jauh, perusahaan itu bisa bangkrut.

Bagi Indonesia, yang merupakan net importir minyak, kenaikan harga tentu akan merepotkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena berdampak pada subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Di sisi lain, naiknya harga minyak merupakan insentif untuk mendorong kegiatan hulu migas.

Sebaliknya harga minyak turun berdampak terhadap lesunya sektor hulu migas. “Dalam situasi ini, tampaknya baik harga minyak cenderung naik atau turun, sama-sama menuai masalah,” ujar mantan Fiscal Policy Analyst OPEC itu.

Menurut Benny, permasalahan inti yang harus dijawab adalah bagaimana memperkecil kesenjangan konsumsi dan produksi. Bagi negara berpopulasi besar dengan pertumbuhan tinggi, naiknya konsumsi sesuatu yang wajar, yang dapat dikurangi adalah pemakaian BBM yang boros dan tidak efisien.

Kemudian, hal yang penting dilakukan adalah mengurangi kesenjangan tersebut melalui peningkatan produksi. Kenaikan produksi yang berkesinambungan pada dasarnya hanya dapat diperoleh dari  penemuan cadangan minyak baru yang besar dari kegiatan eksplorasi dan kegiatan EOR (Enhanced Oil Recovery). Namun dampak dari kegiatan EOR memang tidak instan dan baru dirasakan dalam jangka menengah dan panjang.

Kebijakan visioner yang berorientasi ke depan mutlak diperlukan di sektor hulu migas. Visi yang menyatakan dan memetakan kemana arah industri migas tersebut akan dibawa, suatu kondisi yang lebih baik, lebih berhasil dan lebih diinginkan dibanding kondisi sekarang. 

Sinergi antara pihak yang berkepentingan perlu diperkuat. Masing-masing harus melihat kepentingan bangsa yang lebih besar.

(Baca: Harga Minyak Jadi Salah Satu Tantangan Utama Ekonomi Indonesia 2018)

Masing-masing pihak juga tidak perlu menghabiskan tenaga untuk berdebat demi kepentingan jangka pendek yang instan dan populer.  “Sibuk bekerja semata-mata dalam rangka mencapai indikator kinerja masing-masing institusi tanpa menyentuh akar permasalahan yang akan dihadapi anak bangsa dalam jangka menengah dan jangka panjang,” ujar Benny.