Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat/DPR meminta pemerintah mengevaluasi kembali rencana pembentukan induk usaha (holding) sektor minyak dan gas bumi/migas. Alasannya sampai saat ini ada beberapa permasalahan yang belum diselesaikan PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk dan menyebabkan kerugian negara.
Anggota Komisi VI DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDIP Rieke Diah Pitaloka mengatakan permasalahan PGN pertama yang bisa menimbulkan kerugian negara adalah unit regasifikasi dan penampungan terapung (Floating Storage Regasification Unit/FSRU) di Lampung. Proyek ini bisa menimbulkan kerugian negara karena pendapatan yang diperoleh lebih kecil daripada biayanya.
Rieke mengatakan pada 2014 FSRU Lampung hanya menghasilkan 2 kargo. Adapun biaya sewa FSRU tahun 2014 mencapai US$ 30-50 juta. Lalu pada 2015, PGN hanya menghasilkan satu kargo dengan biaya sewa FSRU mencapai US$ 90-110 juta.
Kemudian tahun 2016, PGN hanya memproduksi 11 kargo gas alam cair dengan biaya sewa mencapai US$ 90-110 juta. Sementara di tahun 2017 dan 2018 belum ada kargo yang diproduksikan dari FSRU Lampung.
Padahal masa kontrak FSRU selama 16 tahun. Jadi jika dihitung selama masa kontrak itu, proyek FSRU ini bisa membuat negara rugi US$ 1,6 miliar.
Masalah lainnya adalah kondisi kahar Lapangan Kepodang di Blok Muriah. PGN akan merugi akibat kondisi itu karena memiliki 20% hak kelola di blok itu melalui anak usahanya PT Saka Energi dan memiliki 80% PT Kalimantan Jawa Gas/KJG yang membangun pipa untuk mengalirkan gas.
Saka di Blok Muriah diperkirakan melakukan investasi setiap tahunnya lebih dari US$ 100 juta. Sementara itu KJG juga berinvestasi membangun pipa kalija sepanjang 200 meter. Investasinya mencapai US$ 250 juta.
Atas dasar itu, menurut Rieke PGN bisa merugi lebih US$ 200 juta. Ini karena untuk kegiatan KJG saja, kerugian yang timbul diperkirakan nilainya lebih dari US$ 150 juta.
Rieke khawatir, potensi kerugian yang dialami PGN ini akan membebani PT Pertamina (Persero) sebagai induknya. " Jadi evaluasi lagi Peraturan Pemerintah 6 Tahun 2018. Kerugian siapa yang menanggung? Pertamina juga berat," kata dia saat rapat dengar pendapat komisi VI DPR dengan Pertamina di DPR, Jakarta, Rabu (14/3).
(Baca: Petronas Akan Cicil Pembayaran Utang ke KJG)
Menjawab hal tersebut, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan pihaknya akan mengkaji kerugian negara dari PGN tersebut. Selain itu ia mengatakan pihaknya menerima masukan dari komisi VI DPR untuk memepertimbangkan kembali PP 6 Tahun 2018. "Itu masukan yang harus kami pertimbangkan ke depan," kata dia.