Pertamina Masih Untung, Harga BBM Dinilai Tak Perlu Naik Hingga 2019

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Arnold Sirait
23/1/2018, 17.55 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih mengkaji perubahan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar seiring kenaikan harga minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir. Namun, Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radi menilai harga dua jenis BBM itu tidak perlu naik, bahkan hingga tahun 2019, karena Pertamina masih memperoleh keuntungan.

Di satu sisi, Fahmi melihat sejak akhir 2017 hingga awal 2018, harga minyak dunia memang mengalami kenaikan yang signifikan. Bahkan harga minyak jenis Brent sempat menyentuh level tertinggi sejak Desember 2014, yakni US$ 70,37 per barel.   

Namun, di sisi lain harga BBM tidak naik dan saat ini diklaim di bawah harga keekonomiannya sehingga mengancam keuangan Pertamina. Direktur Utama Pertamina Elia Massa pernah mengklaim, dengan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) US$ 59 per barel, potensi kerugian bisa mencapai sekitar Rp 19 triliun. Jika harga mencapai US $ 70 per barel, maka potensi kerugian Pertamina akan semakin membengkak.

Alhasil, dampak berantai jika harga BBM tidak menyesuaikan pergerakan harga minyak, Pertamina akan kesulitan melakukan investasi dalam jangka panjang. "Ini tentu berdampak ke keuangan Pertamina," kata Elia dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII di DPR, Jakarta, Kamis (18/1).

Direktur Keuangan Pertamina Arif Budiman juga mengatakan dampak lain dari tidak berubahnya harga BBM adalah kemampuan Pertamina dalam membayar utang. "Sebagai contoh, dari uang yang kami hasilkan dibandingkan kewajiban pembayaran bunga itu sekitar enam, itu bisa turun ke empat bahkan ke level dua sampai di tahun 2021. Ini dengan asumsi ICP yang berbeda-beda," kata dia.

Namun menurut Fahmi Radi, ada faktor lain untuk memutuskan harga BBM. Keputusan Pemerintah yang tidak menaikan harga BBM, selain untuk menekan laju inflasi, juga untuk meringankan beban rakyat sebagai konsumen, yang daya belinya sedang melemah. 

Fahmi juga menilai pemerintah tidak membiarkan Pertamina menanggung potensi kerugian sebagai dampak keputusan pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM.  Dalam formula penetapan harga jual BBM, pemerintah sudah memasukan komponen biaya penugasan sekitar Rp 550 per liter dan memberikan margin kepada Pertamina sekitar Rp 250 per liter.

Selain itu, pada saat penetapan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina menikmati keuntungan besar. Saat harga ICP merosot pada kisaran US $ 38 per barel di tahun 2016, pemerintah memutuskan tidak menurunkan harga jual BBM, sehingga Pertamina meraup keuntungan sekitar Rp 40 triliun.

Jadi, kalau potensi kerugian penjualan harga BBM pada 2017 sebesar Rp 19 triliun dikompensasikan dengan keuntungan pada 2016, Pertamina masih mengantongi selisih keuntungan sekitar Rp 21 triliun. “Sisa keuntungan itu masih sangat memadai untuk menutup potensi  kerugian Pertamina, akibat kenaikan harga minyak dunia pada 2018,” kata dia kepada Selasa (23/1).

Tidak hanya itu, Pemerintah juga memberikan beberapa kompensasi kepada Pertamina. Salah satunya adalah pemberian hak pengelolaan blok Mahakam terhitung sejak 1 Januari 2018.

Dengan pemberian blok Mahakam, aset Pertamina bertambah US$ 9,43 miliar atau sekitar Rp 122,59 triliun. Alhasil aset Pertamina kini naik menjadi US$ 54,95 miliar atau sekitar Rp 714,35 triliun.

Menurut Fahmi, keputusan Pemerintah menetapkan hak kelola maksimal 39% blok Mahakam bisa membuat Pertamina meraup pendapatan dalam bentuk uang tunai sekitar US$ 3,68 miliar atau sebesar Rp. 47,84 triliun. Berdasarkan data produksi sebelumnya, potensi pendapatan bersih, setelah dikurangi cost recovery (pengembalian biaya operasi) selama tahun 2018 diprediksikan akan mencapai sebesar US$ 317 juta atau sekitar Rp. 4,12 triliun.

(Baca: Kementerian ESDM Buka Peluang Kenaikan Harga BBM Periode April)

Jika semua ditotal, penerimaan Pertamina tahun 2016 hingga 2018 sebesar Rp 91,96 triliun. Jumlah itu masih sangat mencukupi untuk menutup potensi kerugian akibat tidak dinaikan harga BBM tahun 2017 hingga 2018. “Bahkan sepanjang 2019 tidak perlu ada penaikan harga BBM, lantaran total cash inflow itu masih sangat memadai untuk menutup potensi opportunity lost Pertamina hingga akhir 2019,” ujar dia.