Pemerintah telah melakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya proyek pengembangan gas Lapangan Jambaran–Tiung Biru. Proyek ini bisa berjalan karena pemerintah berhasil mengefisiensikan biaya investasi, sehingga bisa menekan harga gas yang diproduksi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan awalnya biaya investasi di proyek Jambaran-Tiung Biru mencapai US$ 2,1 miliar. Namun, kini hanya US$ 1,55 miliar. “Kami bisa save banyak. Hematnya US$ 550 juta,” kata dia di Bojonegoro, Senin (25/9).

Ada beberapa langkah yang dilakukan untuk menekan biaya investasi tersebut. Salah satunya adalah mengefisiensikan waktu pengerjaan proyek (man hour), kemudian penyesuaian biaya tenaga kerja (manpower cost), dan menyelesaikan kendala infrastruktur.

Menurut Jonan, efisiensi biaya ini sangat penting, terutama bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apalagi dalam industri hulu migas, biaya investasi akan diganti oleh negara (cost recovery). “Kami berusaha investasi seefisien mungkin, karena yang dipakai, uang rakyat,” ujar dia.

Efisiensi biaya ini juga membuat harga gas dari Lapangan Jambaran-Tiung Biru turun menjadi US$ 7,6 per mmbtu tanpa eskalasi. Sebelumnya, harganya bisa mencapai US$ 8 plus 2% eskalasi.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan beroperasinya proyek ini bisa menambah penerimaan negara. “Diproyeksikan penerimaan negara dari proyek ini sampai kontrak selesai tahun 2035 mencapai US$3,61 miliar atau lebih dari Rp48 triliun,” kata dia.

Selain penerimaan negara, proyek ini akan memberikan efek berganda bagi perekonomian daerah maupun nasional. Misalnya, penyerapan tenaga kerja yang mencapai 6.000 orang pada masa konstruksi. Seluruh produksi gas ini juga akan digunakan untuk kebutuhan dalam negeri.

Alokasi sebesar 100 MMSCFD diperuntukkan ke Pertamina, yang kemudian dialirkan ke PLN untuk kebutuhan listrik di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara sebesar 72 MMSCFD akan memasok kebutuhan industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adapun menurut keterangan resmi SKK Migas, cadangan lapangan ini diperkirakan 1,9 triliun kaki kubik (TCF).  

Harga gas di kepala sumur sebesar US$6,7 per juta british thermal unit (MMBTU), tetap (flat) selama 30 tahun. Dengan biaya toll feesebesar US$0,9 MMBTU, harga di pembangkit listrik PLN menjadi sebesar US$7,6 per MMBTU.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik mengatakan peletakan batu ini menjadi harapan baru bagi Indonesia, khususnya untuk mengatasi defisit pasokan gas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan cadangan gas JTB sebesar 2,5 triliun kaki kubik (TCF), Pertamina berharap industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan mendapat suplai gas yang cukup menggerakkan ekonomi nasional.

Saat ini, Pertamina masih menuntaskan negosiasi pengalihan hak partisipasi (participating interest/PI) dengan pihak ExxonMobil. ExxonMobil dan Pertamina EP Cepu saat ini memegang hak kelola 41,4%. Sedangkan Pertamina EP 8% dan sisanya BUMD.

Lapangan JTB yang memiliki kompleksitas tinggi dengan kandungan CO2 34%, fasilitas pemrosesan gas 330 juta kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD), dan produksi gas jual 172 MMSCFD. Proses pengeboran juga akan dimulai PEPC setelah menunjuk PT Rekayasa Industri (Rekind) dan PT Japan Gas Corporation yang sudah memenangkan tender.

Massa optimistis Lapangan JTB akan berproduksi 2021 dan sekaligus mempercepat utilisasi pipa transmisi gas Gresik-Semarang. Saat ini, Pertamina melalui anak perusahaan, PT Pertamina Gas (Pertagas) tengah menyelesaikan pembangunan pipa Gresik-Semarang sepanjang 267 km dengan nilai investasi sekitar US$515,7 juta.

Reporter: Michael Reily