Tujuan koordinasi tersebut agar di kemudian hari tidak lagi muncul tumpang tindih dan kontradiksi peraturan perundangan yang dapat berujung pada tidak efektifnya pelaksanaan tugas dan fungsi kelembagaan yang diaturnya. Pada akhirnya dapat memicu ketidakpastian iklim usaha dan investasi yang semakin luas.

Selain itu, BUK, ada beberapa poin lainnya yang menjadi perhatian DPR. Pertama, penetapan dan pengelolaan wilayah kerja meliputi pihak yang menyiapkan dan menawarkan wilayah kerja.

Kedua, penawaran wilayah kerja baru dan perpanjangan wilayah kerja lama termasuk hak istimewa (privilege) kepada Pertamina. Selain itu, pemberian hak kelola atau (participating interest/PI) sebesar 15 persen ke Pertamina.

Ketiga, skema bagi hasil, pendapatan negara, cost recovery, PI sebesar 10 persen ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau pemerintah daerah penghasil migas. Ada juga alokasi migas kebutuhan dalam negeri (DMO) yaitu lebih atau sama dengan 25 persen. Untuk skema gross split yang saat ini telah diluncurkan pemerintah akan menjadi bahan evaluasi DPR untuk menjadi salah satu jenis kontrak  dalam RUU Migas. 

Keempat, ketentuan isi kontrak kerja sama (KKS) migas, seperti jangka waktu kontrak, masa perpanjangan dan lain-lain. Kelima, pembinaan dan pengawasan sektor migas baik hulu dan hilir serta kewenangan dari masing-masing sektor tersebut. Keenam, ketentuan Petroleum Fund atau dana migas yang meliputi sumber dana, tujuan atau pemanfaatan, mekanisme pengelolaan dan audit.

(Baca: Pemerintah Kaji Rencana Penerapan Petroleum Fund)

Salah satu peneliti The Habibie Center Zamroni Salim mengusulkan agar fungsi kebijakan dan pengaturan tetap di tangan pemerintah. Kemudian pemerintah mensyaratkan agar semua blok migas yang dikelola oleh perusahaan asing (Internasional Oil Company/IOC)  harus dalam skema bagi hasil dengan perusahaan migas nasional (National Oil Company/NOC). Dalam model ini tidak ada blok migas yang sepenuhnya dikelola100 persen oleh IOC. 

Halaman: