Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengupayakan agar revisi Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (migas) dapat sejalan dengan rencana pembentukan induk usaha (holding) BUMN. Sebab, rancangan sektor hulu migas dalam UU tersebut memuat rencana pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) migas.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengatakan, seluruh fraksi di DPR sepakat membentuk BUK migas. Badan ini akan menjadi wakil pemerintah untuk mengelola sektor hulu hingga hilir migas tanpa terpisah (unbundling). Jadi, fungsi SKK Migas juga BPH Migas akan menyatu dalam kewenangan BUK. Badan ini kemudian akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. (Baca: Menteri ESDM Tolak SKK Migas di Bawah Presiden)
Namun, Satya belum mau menyebut institusi yang akan menjadi BUK, apakah PT Pertamina (Persero) atau Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Di sisi lain, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga akan membentuk holding dengan menggabungkan Pertamina dan PGN.
Untuk itu, pihaknya akan mencari titik temu agar konsep BUK dan holding migas yang digodok Kementerian BUMN tidak berseberangan. “Kami tidak ingin berseberangan antara yang berkembang di Kementerian BUMN dan RUU Migas di Komisi VII,'' kata Satya di Jakarta, Senin (20/3).
Sebelumnya, Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menyoroti arah pengelolaan hulu migas dan pembentukan holding BUMN migas. Penerapan holding BUMN Migas semestinya tidak berjalan sendiri dan sekadar langkah merealisasikan akuisisi atau pengambilalihan saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) oleh Pertamina atau satu BUMN terhadap BUMN lainnya sebagaimana yang diarah pada PP No.72/2016 itu.
Pembentukan holding BUMN migas juga seharusnya mengantisipasi kemungkinan arah pengelolaan migas ke depan seperti akan diatur dalam UU Migas baru nantinya. Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM perlu duduk bersama untuk membicarakan dan mensinkronkan hal itu.
(Baca: Masa Depan Hulu Migas: Peran BUK dan Holding BUMN)
Tujuan koordinasi tersebut agar di kemudian hari tidak lagi muncul tumpang tindih dan kontradiksi peraturan perundangan yang dapat berujung pada tidak efektifnya pelaksanaan tugas dan fungsi kelembagaan yang diaturnya. Pada akhirnya dapat memicu ketidakpastian iklim usaha dan investasi yang semakin luas.
Selain itu, BUK, ada beberapa poin lainnya yang menjadi perhatian DPR. Pertama, penetapan dan pengelolaan wilayah kerja meliputi pihak yang menyiapkan dan menawarkan wilayah kerja.
Kedua, penawaran wilayah kerja baru dan perpanjangan wilayah kerja lama termasuk hak istimewa (privilege) kepada Pertamina. Selain itu, pemberian hak kelola atau (participating interest/PI) sebesar 15 persen ke Pertamina.
Ketiga, skema bagi hasil, pendapatan negara, cost recovery, PI sebesar 10 persen ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau pemerintah daerah penghasil migas. Ada juga alokasi migas kebutuhan dalam negeri (DMO) yaitu lebih atau sama dengan 25 persen. Untuk skema gross split yang saat ini telah diluncurkan pemerintah akan menjadi bahan evaluasi DPR untuk menjadi salah satu jenis kontrak dalam RUU Migas.
Keempat, ketentuan isi kontrak kerja sama (KKS) migas, seperti jangka waktu kontrak, masa perpanjangan dan lain-lain. Kelima, pembinaan dan pengawasan sektor migas baik hulu dan hilir serta kewenangan dari masing-masing sektor tersebut. Keenam, ketentuan Petroleum Fund atau dana migas yang meliputi sumber dana, tujuan atau pemanfaatan, mekanisme pengelolaan dan audit.
(Baca: Pemerintah Kaji Rencana Penerapan Petroleum Fund)
Salah satu peneliti The Habibie Center Zamroni Salim mengusulkan agar fungsi kebijakan dan pengaturan tetap di tangan pemerintah. Kemudian pemerintah mensyaratkan agar semua blok migas yang dikelola oleh perusahaan asing (Internasional Oil Company/IOC) harus dalam skema bagi hasil dengan perusahaan migas nasional (National Oil Company/NOC). Dalam model ini tidak ada blok migas yang sepenuhnya dikelola100 persen oleh IOC.