Nahdlatul Ulama (NU) memberi dukungan moral kepada Pemerintah Indonesia dalam menghadapi ancaman arbitrase PT Freeport Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siroj, saat menemui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (20/2).
Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M. Djuraid menjelaskan, kedatangan Said merupakan inisiatif dari PBNU sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. ''Untuk memberikan dukungan moral kepada pemerintah yang sedang berhadapan dengan Freeport,'' kata dia kepada Katadata, Senin (20/2). (Baca: Jonan Pilih Freeport Arbitrase Daripada Hembuskan Isu PHK)
Pemberian dukungan moral itu berawal dari rilis yang diterbikan Kementerian ESDM pada akhir pekan lalu. Siaran pers tersebut berisi pernyataan sikap Menteri ESDM dalam menghadapi ancaman arbitrase serta langkah Freeport mengurangi jumlah karyawannya.
Dalam rilis itu, Jonan mengomentari adanya wacana arbitrase yang akan dilakukan Freeport karena tidak puas dengan kebijakan baru pemerintah mengenai perubahan status kontrak. ''PBNU mendukung penuh pemerintah untuk menegakkan aturan yang berlaku,'' kata Hadi. (Baca: Mulai Proses Arbitrase, Bos Freeport: Pemerintah Langgar Kontrak)
Jonan memahami langkah hukum seperti membawa masalah sengketa ke arbitrase merupakan hak bagi siapa pun. Namun demikian pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum karena akan berdampak bagi kedua belah pihak.
Sebagai informasi, Freeport Indonesia berencana menggugat Pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase internasional. Alasannya, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu menilai pemerintah telah melanggar kontrak setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 pada 12 Januari lalu. (Baca: Upaya Lobi Bos Besar Freeport yang Berujung Ancaman Arbitrase)
President dan CEO Freeport McMoRan Inc. Richard C. Adkerson mengatakan, pihaknya tidak mau menerima perubahan kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang ditentukan dalam PP 1/2017 tersebut. Sebab, IUPK itu tidak menjamin kepastian fiskal dan investasi jangka panjang seperti halnya dalam KK.