Pengusaha listrik menilai polemik antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dengan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir, harus segera dihentikan. Ini perlu demi pencapaian target-target kelistrikan yang telah ditetapkan pemerintah.
Ketua Asosiasi Produsen Listrik Independen Indonesia Ali Herman Ibrahim mengatakan perbedaan pandangan antara Menteri ESDM dan PLN merupakan hal yang wajar. Ini terjadi karena PLN harus harus berkoordinasi dengan dua kementerian yang berbeda.
Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PLN harus tunduk di bawah Kementerian BUMN. Sementara sektor usaha PLN diatur oleh Kementerian ESDM. Masing-masing kementerian ini memiliki kriteria dan batasan. (Baca: Jokowi Minta PLN Perbanyak Beli Listrik, Bukan Bangun Pembangkit)
Regulasi yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM sebagai penanggung jawab sektor, terkadang berbenturan dengan kepentingan korporasi PLN sebagai salah satu BUMN. Namun, keduanya pasti memiliki tujuan yang sama. Yakni meningkatkan keandalan elektrifikasi di Indonesia.
"Yang satu mungkin ibaratnya naik pesawat, yang satu lagi naik kereta, tapi keduanya memiliki tujuannya sama," ujarnya kepada Katadata, beberapa waktu lalu. (Baca: Rencana Proyek Listrik Disahkan, Menteri ESDM: Hentikan Polemik)
Jika perbedaan ini terus dibiarkan, dikhawatirkan dapat berdampak negatif terhadap program-program kelistrikan yang sudah ditetapkan pemerintah khususnya megaproyek 35 gigawatt (GW). Target pembangunan pembangkit yang diharapkan rampung pada 2019, bisa molor hanya karena perbedaan pendapat ini.
“Memang perlu kompromistik agar perbedaan tidak melebar. Karena kalau dibiarkan time delivery project (jadwal pendistribusian proyek) bisa terganggu dan neraca keuangan PLN juga bisa meleset,” kata Ali. (Baca: Menteri Sudirman: Lima “Pembangkangan” PLN)
Seperti diketahui, Menteri Energi Sudirman Said sempat menyentil PLN yang dianggap kerap tidak sejalan dengan regulasi. “Market tidak melihat kesatuan gerak antara regulasi dan implementasi. Regulasi dibuat untuk memberi kemudahan, namun implementasinya kadang tidak sesuai,” kata Sudirman saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pekan lalu.
Dia mengungkapkan lima pembangkangan yang dilakukan PLN. Pertama, tentang pembelian kelebihan tenaga listrik dengan patokan harga tertinggi. Kementerian mengeluarkan dua peraturan mengenai hal ini pada tahun lalu, tapi PLN tidak menjalankannya dan menetapkan aturan sendiri.
Kedua, terhadap Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2015 memberikan penyederhanaan proses pembangkit swasta (IPP). Namun, PLN justru memberikan banyak tambahan aturan baru. Dampaknya, proses pengadaan IPP menjadi panjang.
Ketiga, terhadap Permen ESDM 19/2015 yang mengatur tarif pembangkit mikro hidro (PLTMH) di bawah 10 MW dengan harga 6,75 - 14,4 US sen per kwh. Namun PLN menetapkan tarif sendiri. Ini dinilai dapat menghambat target penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT). (Baca: Kementerian BUMN Dukung PLN Soal Tarif Listrik Mikro Hidro).
Keempat, terkait daerah krisis atau yang belum terjangkau listrik PLN, dapat dilistriki badan usaha lain. Pada Agustus 2015, PLN keberatan melepas sebagian wilayah usahanya karena dianggap sebagai aset dan sudah melakukan perencanaan terhadap wilayah tersebut.
Kelima, proyek transmisi tegangan tinggi atau high voltage direct current transmission (HVDC) Sumatera - Jawa 500 kilovolt. Proyek ini telah diputuskan untuk dikerjakan sesuai kajian, tapi PLN malah melakukan kajian ulang. Padahal, pendanaan sudah jelas dan tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025. (Baca: Jokowi Perintahkan Selesaikan 34 Proyek Pembangkit yang Mangkrak)