Meski pendapatan usaha naik, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 38,87 triliun pada kuartal I 2020, berbalik dari laba bersih Rp 4,14 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Dalam laporan keuangan perusahaan yang diunggah dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Sabtu (13/6), sepanjang kuartal I 2020 PLN tercatat mampu membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 72,7 triliun. Jumlah ini naik 5,5% dibandingkan kuartal I 2019, yang sebesar Rp 68,91 triliun.
Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, mayoritas pendapatan usaha PLN disokong oleh penjualan tenaga listrik yang mencapai Rp 70,24 triliun, naik 5% secara tahunan dari sebelumnya Rp 66,84 triliun.
Kontribusi penjualan paling besar dibukukan penjualan listrik ke masyarakat umum, dengan nilai mencapai Rp 65,48 triliun, naik hingga 5,1% secara tahunan dari Rp 62,27 triliun. Penjualan berikutnya disumbang dari lembaga dan kementerian yang nilainya mencapai Rp 3,03 triliun, tumbuh 5% secara tahunan dari Rp 2,89 triliun.
Meski pendapatan naik, jumlah beban usaha PLN membengkak signifikan, bahkan lebih besar dari capaian pendapatan. Beban usaha perusahaan pada tiga bulan pertama tahun ini tercatat sebesar Rp 78,8 triliun, naik 7% dibandingkan kuartal I 2019 yang sebesar Rp 73,63 triliun.
Kenaikan beban usaha PLN tersebut salah satunya karena naiknya pembelian tenaga listrik oleh PLN dari perusahaan produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP). Pembeliannya tercatat mencapai Rp 25,83 triliun, naik 29,4% secara tahunan dari kuartal I 2019 yang sebesar Rp 19,95 triliun.
Kenaikan paling tinggi adalah pembelian listrik dari PT Sumber Segara Primadaya, yang naik hingga 124% menjadi Rp 3,43 triliun. Selain itu, PLN juga membeli listrik dari PT Shenhua Guohua PJBI senilai Rp 1,38 triliun, di mana pada periode yang sama tahun lalu PLN belum melakukan pembelian listrik dari perusahaan tersebut.
(Baca: Agar Lebih Transparan, PLN Bakal Buat Sistem Pencatatan Digital)
Padahal, beban usaha PLN dari pembelian bahan bakar dan pelumas tercatat turun 6,8% secara tahunan menjadi Rp 30,72 triliun dari Rp 32,95 triliun. Beban dari pembelian bahan bakar minyak (BBM) turun paling besar 20,7% menjadi Rp 4,9 triliun. Lalu beban dari gas alam turun 3,4% menjadi Rp 13,11 triliun. Begitu pula dari batu bara turun 4,2% menjadi Rp 11,7 triliun.
Karena beban yang naik tinggi tersebut, PLN harus mengalami rugi usaha sebelum subsidi dan pendapatan kompensasi dari pemerintah pada kuartal I 2020. Nilai kerugian usaha ini mencapai Rp 6,09 triliun, lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan rugi Rp 4,71 triliun.
Selain itu, penyebab PLN mengalami kerugian pada periode tiga bulan pertama tahun ini, adalah beban lain-lain PLN yang juga melonjak tinggi menjadi Rp 1,73 triliun. Padahal tahun lalu, beban lain-lain ini hanya senilai Rp 137,39 miliar.
Selain itu, perusahaan juga mengalami kerugian akibat kurs mata uang asing dengan nilai bersih mencapai Rp 51,97 triliun pada periode kuartal I 2020. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, PLN berhasil mengantongi keuntungan dari nilai kurs mata uang asing ini senilai Rp 4 triliun.
Berbagai kenaikan beban ini mengikis capaian pendapatan PLN sehingga menyebabkan perusahaan setrum pelat merah ini mencatatkan rugi bersih, berbalik dari posisi sebelumnya yang mampu mengantongi laba bersih.
Catatan lain pada laporan keuangan perusahaan yaitu jumlah aset perusahaan pada kuartal I 2020 senilai Rp 1.589 triliun, naik dibandingkan dengan aset per akhir Desember 2019 yang senilai Rp 1.585 triliun. Aset tidak lancar PLN periode ini senilai Rp 1.453 triliun, sedangkan aset lancarnya senilai Rp 136,08 triliun.
Sementara itu, jumlah liabilitas perusahaan listrik pelat merah ini senilai Rp 694,79 triliun, naik dibandingkan liabilitas per akhir tahun lalu yang senilai Rp 655,67 triliun. Liabilitas jangka panjang PLN pada triwulan I-2020 senilai Rp 537 triliun, sedangkan liabilitas jangka pendek Rp 157,79 triliun.
(Baca: PLN Catat 4,3 Juta Pelanggan Alami Lonjakan Tagihan Listrik Bulan Ini)